Rabu, 25 Maret 2015

#FF2in1 : Pria Aneh di Koridor Kelasku

TEMA 2


Pria Aneh di Koridor Kelasku
Oleh : Evilia Damayanti 


***


Wajahnya tegas, aku sering melihat wajahnya di tempat ini dengan tatapan mata yang selalu terlihat tajam dan dingin. Tubuh jangkungnya terlihat begitu mendukung kepribadiannya yang sangat tertutup. Dan aku heran, kenapa dengan sikap seperti itu dia mampu menghipnotis banyak wanita di kampus ini?

Hari ini sama, aku lagi-lagi bertemu dengannya di koridor. Gaya pria itu masih sama dan mungkin akan selalu sama, terlebih padaku. Aku merasa tatapannya tidak setajam padaku saat menatap objek lain. Aku tidak mengerti, dan semakin tidak mengerti saat tubuh jangkung itu tanpa diduga mendekatiku saat koridor kelas ini begitu sepi di sore hari. Aku langsung teringat pada film-film fantasi yang sering kulihat. Seorang pria dingin misterius yang menyudutkan seorang wanita di sebuah koridor gelap dan sepi, mengikat gerak wanita itu lalu menculiknya dan membawanya ke dunianya, luar angkasa!

Tidak, tidak. Apa yang sedang kupikirkan? Aku sudah gila karena pria dingin yang kini sudah beradu pandang denganku. Hanya beberapa senti saja jarakku dengan pria itu sekarang. Aku menelan ludahku, berusaha menetralisir debaran jantung yang tak seperti biasanya ini.

“Jangan berpikir bahwa aku ini alien!” ucapnya membuatku semakin gugup. Ya Tuhan, pria aneh ini bisa membaca pikiranku sepertinya. Tidak, tidak mungkin seseorang bisa mengetahui isi hati orang lain.

“Aku sudah lama memerhatikanmu, kau mencuri perhatianku. Kau tidak pernah berteriak saat aku berlalu, kau juga tidak ikut tersenyum dengan senyum yang menjijikan padaku seperti yang gadis-gadis lain lakukan. Apa aku tidak populer di matamu, Sela?”

Aku terkejut, sangat terkejut. Sela? Bahkan pria yang ada di hadapanku ini mengetahui namaku, sulit dipercaya setelah apa yang baru saja dikatakannya.

“Jangan gugup dan terkejut. Kau pasti tidak menyangka aku akan begini terhadapmu. Tapi kau harus tahu, aku adalah tipe pria yang tidak hanya mengumbar senyum dan kata-kata, aku hanya langsung mendapat inti dari semua yang ada di dunia ini. Kau paham?”

Aku menggeleng pelan, sungguh, aku tidak paham dengan ucapannya yang sangat membingungkan itu. Dan bodohnya, aku masih saja menunggunya mengucapkan beberapa kalimat penjelas.

“Aku menyukaimu, aku menyukaimu. Bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Suaraku bergetar, aku lemas, aku gugup. Jujur saja, dari dekat wajah pria aneh ini sangat mempesona lebih-lebih dari sebelumnya.

“Kau menyukaiku tidak?”

“Aku tidak tahu.” Kataku masih dengan suara yang bergetar.

“Apa kau tidak menyukaiku?”

“Bukannya begitu.” Dengan sigap aku menjawab pertanyaan menjebak itu. Ya, kukatakan itu adalah pertanyaan menjebak yang ia lontarkan.

“Kalau begitu kau juga menyukaiku. Mulai hari ini tidak boleh ada pria lain yang mendekatimu, Sela. Kau adalah milikku sekarang.”

Wajah dingin itu tersenyum padaku. Ini kali pertama aku menyaksikannya, ya, ini adalah pemandangan langka yang tidak  pernah kulihat sebelumnya. Sampai akhirnya senyuman itu lenyap dan kulihat punggung pria itu semakin menjauhiku, membelakangiku dengan langkah kaki cepat. Sambil melangkah ia sempat mengangkat tangannya tanpa memandangiku, dan akhirnya pria itu tak lagi kulihat di koridor ini.

Aku masih terpesona tanpa melakukan apa-apa. Tunggu dulu, tadi itu apa? Ya Tuhan, gara-gara senyum itu aku baru menyadarinya sekarang. Pria aneh itu baru saja menyatakan perasaannya padaku ‘kan? Dan aku seperti gadis bodoh yang terkena hipnotis, aku menerimanya tanpa perlawanan? Apa aku sudah gila?




Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

#FF2in1 Melupakan untuk Bahagia

 TEMA 1


 Melupakan untuk Bahagia
Oleh : Evilia Damayanti 

***
Aku sangat setuju jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Semua terjadi karena sudah ada yang merencanakan, yaitu Tuhan. Kebahagiaan dan kesedihan adalah salah satu dari hal-hal yang telah direncanakan Tuhan, orang bilang adalah takdir. Dan aku sebagai manusia, mau tidak mau harus terlibat dengan yang namanya takdir.
“Jangan tinggalkan aku, aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika pernikahan kali ini gagal.” Lenguhku pada seorang pria yang kini menjadi sandaranku.

“Maaf jika aku membebanimu dengan memaksamu menerimaku. Kau tentu belum siap untuk menikah denganku setelah kegagalan pernikahanmu dulu.”

Aku merasa jawaban Andi menghujam jantungku yang selama sebulan terakhir ini serasa ingin meledak karena dengan begitu cepat mencintainya hanya karena sebuah pinangan yang ia lakukan padaku.

“Kau harus jaga kesehatanmu sayang,” kata Andi, “jangan makan hanya karena aku menyuruhmu!” Lanjutnya begitu protektif.

“Aku mengerti.”


***

Aku tidak menganggap serius ucapan Andi waktu itu. Kupikir ia mengucapkan kata-kata itu hanya karena mencemaskanku, tetapi aku salah. Itu adalah kata-kata perpisahannya padaku secara tidak langsung. Tiga tahun, ini sudah tiga tahun sejak pertemuanku dengan Andi kala itu. Andi, seorang pria yang berjanji menikahiku dalam waktu dekat justru menghilang tiba-tiba sejak hari itu.

Hari ini sudah kuputuskan untuk melupakannya. Cukup sudah selama tiga tahun ini aku menunggunya. Di salah satu ruangan di rumah ini ada seorang pria yang sedang menungguku, seorang pria yang akan menikahiku hari ini.

Aku bergegas, dituntun oleh ibuku yang sedari tadi menemaniku di ruang rias pengantin ini. Jantungku berdebar tak karuan karena harus menikah dengan pria yang bahkan hingga detik ini belum kucintai.

“Kau cantik sekali.” Calon ayah mertuaku memujiku, begitu juga dengan banyak decak kagum yang kudengar dari para hadirin.

Kedua mataku terus menyelidik setiap orang yang hadir, memastikan teman-teman terdekatku hadir di acara yang banyak orang mengatakan sebagai hari bahagiaku ini. Tetapi, aku terbelalak tak percaya. Air mataku langsung menggenang saat kulihat sosok pria yang sangat kurindukan, sosok pria yang melarikan diri dariku tiga tahun lalu. Andi, pria itu adalah Andi. Kulihat Andi duduk sambil memegangi pensil dan kertas di atas kursi rodanya .

“Kau pasti terkejut karena belum kukenalkan dia padamu, dia adalah kakak tiriku yang selama ini ada di Amerika. Dia sakit dan melakukan pengobatan di sana.”

“Dia sakit apa?” Tanyaku pada calon suamiku di pelaminan ini.

“Alzheimer, perlahan daya ingatnya menurun, yang dia lakukan hanya menulis-nulis tidak karuan seperti itu.”

Kudekati tanpa memedulikan semua orang yang menantikan ijab kabulku dengan calon suamiku. Kuambil secarik kertas yang ada di tangan Andi. Mataku sudah sangat memanas terlebih aku kini tepat ada di hadapannya. Pada kertas itu tertulis sesuatu yang membuat air mataku sukses meluncur.

“Aku akan melupakan semuanya sampai kematianku tiba, tetapi satu nama yang selalu kuingat meski sekarang aku tak bisa mengingat wajahnya dan aku ingin dia mendapatkan pria yang pantas, bukan pria tak berdaya seperti aku, Ayu....”

Ayu adalah namaku. Kau, Andi, maafkan aku. Maafkan aku yang selama ini menuduhmu sebagai orang yang kejam. Aku harus kuat, ya, aku harus kuat. Kubalikan tubuhku kembali menuju pelaminan.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rabu, 18 Maret 2015

#FF2in1 : Cahaya Kehidupan



TEMA 2


 Cahaya Kehidupan
 Oleh : Evilia Damayanti


***

Semua hal di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Ya, aku memercayai keyakinan itu. Semua sudah diatur dalam takdir masing-masing, seperti pertemuanku dengan gadis itu. Aku tidak pernah menyangka akan mencintai seseorang begitu dalam, tapi kini aku merasakannya pada gadis itu. Namanya Hana, yang kata orang sangat mencintaiku yang buruk ini. Ya, aku buruk, buruk dalam artian kepribadianku yang tertutup dan dingin. Tapi gadis itu mampu membuatku meleleh.

“Mino.”

Pagi ini ia menyapaku lagi diiringi dengan geliat manja. Pemandangan yang sudah tiga bulan ini kulihat setiap harinya. Jangan heran kami seperti ini, aku dan Hana sudah menikah tiga bulan yang lalu.

“Kamu akan menemui ayahmu?”

“Tidak akan. Kamu tidak ingat perlakuan ayahku padamu?”

Hana tersenyum, senyum yang kulihat bagai cahaya yang menerangi ruang gelap hatiku, senyum yang langsung bisa meredamkan amarahku yang hampir meluap ketika mendengar kata ‘ayah’ dari mulut manisnya.

“Ayo kita temui bersama. Kalau aku bisa mendapatkan hatimu, aku juga harus bisa mendapatkan hati ayahmu karena pernikahan kita ini telah membuat ayahmu menjadi ayahku juga.”
Aku berdehem, lalu merenungi ucapan sejuk yang baru saja menyentuh saraf pendengaranku. Aku memang beruntung memiliki isteri sebaik Hana.

“Buatkan aku kopi hangat sayang.”

Permintaan rutin yang kubisikkan pada telinga Hana dengan memberikan bonus kecupan pada keningnya. Ah, aku terlalu menyayangi gadis yang kini sedang menyeduh kopi di dapur sana. Mata, hidung, bibir, dan semua yang ada padanya selalu menenteramkanku. Bukan hanya fisik, kelembutan hatinya juga telah menenangkan jiwaku akhir-akhir ini. Sekarang aku baru sadar kenapa banyak orang yang menginginkan isteri yang cantik dan solehah. Rupanya ini, isteri solehah akan mampu membuat suaminya memiliki cahaya kehidupan yang menutupi bahkan melenyapkan kegelapan dalam hati.



 ***


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

#FF2in1: Kita Putus

Tema 1


Kita Putus

Oleh : Evilia Damayanti 


***


Rere hanya dapat menghela napas panjang saat lelaki berkulit bersih itu mengabaikannya. Apa yang lelaki itu katakan selalu mengandung ketidakpastian. Pengingkaran janji sudah sering ia lakukan pada Rere, kekasihnya.

“Besok hari jadi kita ‘kan, Za?” Rere bertanya pada Reza, kekasihnya.

“Iya, aku ingat. Tapi aku tidak bisa menepati janjiku.”

“Kenapa tidak bisa?”

“Maaf, aku tidak bisa memberitahumu.”

“Baiklah, aku akan merayakannya dengan orang lain saja.”

Gadis itu pergi setelah mengucapkan sebaris kalimat yang seharusnya membuat Reza mengerti bahwa kalimat itu adalah ultimatum baginya.


***


Malam ini seharusnya menjadi malam indah bagi Rere dan Reza. Ya, ini adalah malam saat tiga tahun lalu mereka memastikan hubungan sebagai sepasang kekasih. Meski Rere sudah tahu dan yakin bahwa Reza tidak akan datang, Rere tetap menunggu Reza dengan perasaan pasrah dan siap dengan keputusan yang akan ia ambil malam ini.

“Kau benar tidak akan datang?”

“Maaf, Re. Aku tidak bisa.”

“Selamat tinggal, aku akan mencari orang lain untuk merayakan hari jadi seperti ini.”

Tanpa mendengar jawaban dari Reza, Rere memutuskan sambungan telepon. Ya, Rere yang seharusnya merasa tersakiti justeru terleih dulu memutuskan hubungan itu.


***


Reza berdiri meminta penjelasan Rere. Ada rasa tidak terima telah diperlakukan seperti itu oleh Rere, gadis yang ia kira sangat mencintainya dan tidak akan memutuskannya.

“Aku rasa sudah jelas. Biar kamu selalu sakitin aku, aku gak mau nangis. Jadi kita udahan aja, kalau kamu gak terima, ya itu urusanmu. Tapi makasih loh, Za, kamu udah ngelatih aku jadi gadis yang kuat.”

Rere berpaling, meninggalkan lelaki yang masih belum percaya dengan kenyataan yang baru diterimanya. Bukan karena sakit hati atau tidak sanggup hidup tanpa gadis itu. Reza tidak menyangka bahwa Rere akan mendahuluinya untuk mengakhiri hubungan itu. Sekarang dalam benak Reza, ia merasa sangat rendah dan berada dalam posisi tersakiti. Ya, harga diri seorang lelaki bernama Reza itu telah jatuh oleh gadis yang selama ini telah ia duakan. Miris bukan?





Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku