TEMA 1
“Maaf jika aku membebanimu dengan memaksamu menerimaku. Kau tentu belum siap untuk menikah denganku setelah kegagalan pernikahanmu dulu.”
Aku merasa jawaban Andi menghujam jantungku yang selama sebulan terakhir ini serasa ingin meledak karena dengan begitu cepat mencintainya hanya karena sebuah pinangan yang ia lakukan padaku.
“Kau harus jaga kesehatanmu sayang,” kata Andi, “jangan makan hanya karena aku menyuruhmu!” Lanjutnya begitu protektif.
“Aku mengerti.”
Hari ini sudah kuputuskan untuk melupakannya. Cukup sudah selama tiga tahun ini aku menunggunya. Di salah satu ruangan di rumah ini ada seorang pria yang sedang menungguku, seorang pria yang akan menikahiku hari ini.
Aku bergegas, dituntun oleh ibuku yang sedari tadi menemaniku di ruang rias pengantin ini. Jantungku berdebar tak karuan karena harus menikah dengan pria yang bahkan hingga detik ini belum kucintai.
“Kau cantik sekali.” Calon ayah mertuaku memujiku, begitu juga dengan banyak decak kagum yang kudengar dari para hadirin.
Kedua mataku terus menyelidik setiap orang yang hadir, memastikan teman-teman terdekatku hadir di acara yang banyak orang mengatakan sebagai hari bahagiaku ini. Tetapi, aku terbelalak tak percaya. Air mataku langsung menggenang saat kulihat sosok pria yang sangat kurindukan, sosok pria yang melarikan diri dariku tiga tahun lalu. Andi, pria itu adalah Andi. Kulihat Andi duduk sambil memegangi pensil dan kertas di atas kursi rodanya .
“Kau pasti terkejut karena belum kukenalkan dia padamu, dia adalah kakak tiriku yang selama ini ada di Amerika. Dia sakit dan melakukan pengobatan di sana.”
“Dia sakit apa?” Tanyaku pada calon suamiku di pelaminan ini.
“Alzheimer, perlahan daya ingatnya menurun, yang dia lakukan hanya menulis-nulis tidak karuan seperti itu.”
Kudekati tanpa memedulikan semua orang yang menantikan ijab kabulku dengan calon suamiku. Kuambil secarik kertas yang ada di tangan Andi. Mataku sudah sangat memanas terlebih aku kini tepat ada di hadapannya. Pada kertas itu tertulis sesuatu yang membuat air mataku sukses meluncur.
“Aku akan melupakan semuanya sampai kematianku tiba, tetapi satu nama yang selalu kuingat meski sekarang aku tak bisa mengingat wajahnya dan aku ingin dia mendapatkan pria yang pantas, bukan pria tak berdaya seperti aku, Ayu....”
Ayu adalah namaku. Kau, Andi, maafkan aku. Maafkan aku yang selama ini menuduhmu sebagai orang yang kejam. Aku harus kuat, ya, aku harus kuat. Kubalikan tubuhku kembali menuju pelaminan.
Melupakan untuk Bahagia
Oleh : Evilia Damayanti
***
Aku
sangat setuju jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi
secara kebetulan. Semua terjadi karena sudah ada yang merencanakan, yaitu
Tuhan. Kebahagiaan dan kesedihan adalah salah satu dari hal-hal yang telah
direncanakan Tuhan, orang bilang adalah takdir. Dan aku sebagai manusia, mau
tidak mau harus terlibat dengan yang namanya takdir.
“Jangan
tinggalkan aku, aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika pernikahan kali ini
gagal.” Lenguhku pada seorang pria yang kini menjadi sandaranku.
“Maaf jika aku membebanimu dengan memaksamu menerimaku. Kau tentu belum siap untuk menikah denganku setelah kegagalan pernikahanmu dulu.”
Aku merasa jawaban Andi menghujam jantungku yang selama sebulan terakhir ini serasa ingin meledak karena dengan begitu cepat mencintainya hanya karena sebuah pinangan yang ia lakukan padaku.
“Kau harus jaga kesehatanmu sayang,” kata Andi, “jangan makan hanya karena aku menyuruhmu!” Lanjutnya begitu protektif.
“Aku mengerti.”
***
Aku
tidak menganggap serius ucapan Andi waktu itu. Kupikir ia mengucapkan kata-kata
itu hanya karena mencemaskanku, tetapi aku salah. Itu adalah kata-kata
perpisahannya padaku secara tidak langsung. Tiga tahun, ini sudah tiga tahun
sejak pertemuanku dengan Andi kala itu. Andi, seorang pria yang berjanji
menikahiku dalam waktu dekat justru menghilang tiba-tiba sejak hari itu.
Hari ini sudah kuputuskan untuk melupakannya. Cukup sudah selama tiga tahun ini aku menunggunya. Di salah satu ruangan di rumah ini ada seorang pria yang sedang menungguku, seorang pria yang akan menikahiku hari ini.
Aku bergegas, dituntun oleh ibuku yang sedari tadi menemaniku di ruang rias pengantin ini. Jantungku berdebar tak karuan karena harus menikah dengan pria yang bahkan hingga detik ini belum kucintai.
“Kau cantik sekali.” Calon ayah mertuaku memujiku, begitu juga dengan banyak decak kagum yang kudengar dari para hadirin.
Kedua mataku terus menyelidik setiap orang yang hadir, memastikan teman-teman terdekatku hadir di acara yang banyak orang mengatakan sebagai hari bahagiaku ini. Tetapi, aku terbelalak tak percaya. Air mataku langsung menggenang saat kulihat sosok pria yang sangat kurindukan, sosok pria yang melarikan diri dariku tiga tahun lalu. Andi, pria itu adalah Andi. Kulihat Andi duduk sambil memegangi pensil dan kertas di atas kursi rodanya .
“Kau pasti terkejut karena belum kukenalkan dia padamu, dia adalah kakak tiriku yang selama ini ada di Amerika. Dia sakit dan melakukan pengobatan di sana.”
“Dia sakit apa?” Tanyaku pada calon suamiku di pelaminan ini.
“Alzheimer, perlahan daya ingatnya menurun, yang dia lakukan hanya menulis-nulis tidak karuan seperti itu.”
Kudekati tanpa memedulikan semua orang yang menantikan ijab kabulku dengan calon suamiku. Kuambil secarik kertas yang ada di tangan Andi. Mataku sudah sangat memanas terlebih aku kini tepat ada di hadapannya. Pada kertas itu tertulis sesuatu yang membuat air mataku sukses meluncur.
“Aku akan melupakan semuanya sampai kematianku tiba, tetapi satu nama yang selalu kuingat meski sekarang aku tak bisa mengingat wajahnya dan aku ingin dia mendapatkan pria yang pantas, bukan pria tak berdaya seperti aku, Ayu....”
Ayu adalah namaku. Kau, Andi, maafkan aku. Maafkan aku yang selama ini menuduhmu sebagai orang yang kejam. Aku harus kuat, ya, aku harus kuat. Kubalikan tubuhku kembali menuju pelaminan.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
nyesek pas Ayu liat Andi di kursi roda... :'(
BalasHapusalzheimer...
sport jantung jg nulisny de sm kyk perasaan ayu pas lht andi :(
Hapus