Kamis, 22 Januari 2015

ARTIKEL : CACING KECIL YANG TERABAIKAN - CERITA ANAK JALANAN


CACING KECIL YANG TERABAIKAN
Cerita Anak Jalanan
Oleh: Evilia D


Diantara hembusan debu jalanan dan teriknya matahari yang seakan-akan menyengat kulit pada siang itu, terlihat sekumpulan anak kecil bertubuh kurus memperlihatkan senyum polos di pipinya, senyum yang sekilas menggambarkan kegembiraan dalam kebersamaan dengan teman-teman sebayanya. Emperan toko menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat siang itu, sebagian dari mereka mengalunkan nada dengan gitar mungil yang dimilikinya sedangkan teman-temannya bernyanyi riang sambil bersenda-gurau. Musisi jalanan, itulah mereka, sekumpulan anak-anak yang setiap harinya bertarung mengikuti arus kehidupan yang kurang memihak mereka. Dengan alat musik seadanya mereka menyanyikan lagu-lagu yang kebanyakan menggambarkan tentang kehidupan jalanan yang keras, kehidupan jalanan yang jauh dari kesejahteraan. Selain pengamen jalanan, ada sebagian menggantungkan hidupnya sebagai peminta-minta. Dengan pakaian yang kusut nan lusuh, wajah memelas dan suara paraunya, mereka berharap akan ada orang iba kepadanya dan memberikan sedikit rejeki kepada mereka.
Sebut saja namanya Febri (9 th) dan Rian (11 th), mengamen dalam bus kota atau dari satu toko ke toko yang lain sudah menjadi rutinitas setiap harinya, berharap tuan dermawan memberikan uang setelah mendengarkan nyanyian suka atau nyanyian duka mereka. Receh demi receh yang mereka dapatkan sangat membantu mereka untuk bertahan hidup.

Selain Febri (9 th) dan Rian (11 th), temannya, sebut saja Aras (10 th) dan Rana (12), mereka meminta-minta di jalanan, tak jarang untuk menarik iba orang-orang yang berlalu-lalang, aksinya diiringi dengan ratapan khas peminta-pinta. Dengan wajah menengadah dan memelas, mereka kumpulkan uang receh dalam kantong bekas bungkus permen yang telah lusuh itu. Kerasnya kehidupan yang mereka alami memaksa mereka untuk menjalani hidup di jalanan dengan cara seperti itu.

Setiap harinya sekumpulan anak-anak malang tersebut selalu mendambakan kehidupan yang dapat membuatnya merasa aman dan nyaman, hatinya terluka, hatinya merasa terbuang dan tak berharga.

“...Mengapa jalan hidupku seperti ini Tuhan?”

Kehidupan tetaplah suatu kehidupan. Di dalam kehidupan ada fase-fase yang mau tidak mau harus dijalani. Tapi sungguh kasihan, mereka menjalani kehidupan yang keras itu tanpa belaian dan perlindungan dari orang tua. Mereka berjuang sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada di depannya.

“...Anak jalanan? Tidak ada seorangpun yang menghendaki status seperti itu...”

Harus bertahan dalam panasnya matahari dan dinginnya malam di suatu tempat yang dikenal dengan nama “jalanan” adalah suatu pilihan yang terpaksa mereka ambil. Hidup tanpa orang tua, hidup tanpa ada seseorang yang merawat dan menjaga membuat anak-anak tersebut mengenal bahwa jalanan adalah rumah mereka. Langit adalah atap rumah dan bumi adalah alas rumah, itulah yang melekat dalam benak anak-anak mungil tersebut. Rumah hangat dan nyaman hanyalah sebuah dambaan dan pendidikan hanyalah suatu angan-angan yang tak mungkin menjadi kenyataan.

Kehidupan sekeras apapun harus tetap mereka jalani karena memang itulah jalan hidup mereka. Siapa yang menginginkan hidup tanpa orang tua dalam usia sedini itu? Tidak ada! Mereka juga menginginkan tidur di kasur yang hangat, mereka juga menginginkan kasih sayang orang tua, mereka juga menginginkan pendidikan yang layak. Tapi, apalah daya.. mereka tidak mampu memilih takdir yang akan mereka jalani. Mereka hanya berharap suatu hari nanti kehidupan mereka menjadi lebih baik, karena dalam diri masing-masing dari mereka memiliki banyak cita-cita di masa depan.

Dengan melihat fenomena tersebut, siapakah yang bertanggung jawab dalam permasalahan sosial ini? Siapakah yang seharusnya segera bertindak? Ya.. pemerintah! Pemerintah hendaknya peduli dengan permasalahan ini, bukankah negara ini adalah negara Indonesia? Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pancasila, Sila ke-5: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia...”

UUD 1945, Pasal 34 (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara...”

Pada kenyataannya, pancasila dan pasal UUD’45 tersebut hanyalah sebuah hiasan. Pemerintah sekarang ini cenderung tidak peduli dengan nasib anak-anak jalanan. Sebagian besar dari mereka hanya sibuk memperkaya diri dengan mengabaikan penderitaan anak-anak yang bergelut dengan berbagai ancaman di jalanan. Berdasarkan pancasila dan UUD’45 hendaknya pemerintah lebih memperhatikan nasib anak-anak jalanan itu. Pemerintah sudah waktunya untuk mengayomi dan melindungi anak-anak terlantar tersebut karena mereka merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan penghidupan serta pendidikan yang layak dan negara kita adalah negara Indonesia yakni negara yang berlandaskan pada pancasila dan UUD 1945.






2 komentar:

  1. Bagus2 tulisannya mbak...
    saya ikuti blog anda ya,
    ikuti juga blog saya...

    BalasHapus