Rabu, 22 April 2015

Ale dan Pohon Mangga dari Pak Camat


Ale dan Pohon Mangga dari Pak Camat

Oleh : Evilia Damayanti


***



Sumber Gambar : fadhileinstein-blogspot-com




Ale duduk termenung di dekat jendela rumah memandang air langit berjatuhan. Sesekali ia juga memandang bedak pada wajah ibunya yang semakin menipis karena terlalu lama menunggu hujan mereda. Karena hujan deras ibunya terpaksa menunda waktu yang seharusnya menjadi rupiah. Sangat menyedihkan memang, ibu satu anak itu harus menemani para pria genit di warung pinggir jalan sana setiap sore hingga larut malam.

Selasa, 21 April 2015

Ayu, Kartini Muda Ibu

Ayu, Kartini Muda Ibu

Oleh : Evilia Damayanti


***





Tengah hari terasa sangat membakar telapak kaki seorang gadis kecil yang pulang dari sekolah tanpa memakai seputunya. Hal itu membuat ibundanya menghela napas saat mendapati anak kesayangan dalam keadaan telanjang kaki sudah berada di ambang pintu rumah.

“Kamu melepas sepatumu lagi, Ayu?”

“Ibu ini seperti tidak biasa saja.” Jawab gadis kecil bernama Ayu itu dengan menampilkan sebaris senyum gusi yang terlihat begitu manis di mata ibunya.

“Bagaimana jika menginjak paku? Bisa bahaya nanti, jangan kamu ulangi lagi!” kata Sang Ibu dengan nada halus.

Ayu yang baru selesai mencuci kedua kakinya itu lantas mendekati ibunya, merangkul dengan gelayutan manja yang biasa ia lakukan setiap hari pada ibu yang sudah menghidupinya sendirian sejak sepuluh tahun yang lalu itu. Ayu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakak laki-lakinya sudah duduk di bangku SMA sedangkan Ayu saat ini masih kelas VI SD.

“Kamu kenapa?” tanya wanita paruh baya itu pada Ayu sambil menyelipkan helaian-helaian rambut acak-acakan milik Ayu ke telinga kanan dan kiri gadis kecil itu.

“Tadi di sekolah ada perayaan Hari Kartini, Bu. Ibu Kartini itu hebat ya, Bu. Beliau berjuang demi para wanita agar mau maju, Ayu jadi ingin seperti Ibu Kartini. Ayu ingin terus belajar, setelah SMA nanti, Ayu ingin melanjutkan sekolah Ayu ke luar negeri, melanjutkan cita-cita Ibu Kartini yang saat itu belum bisa terwujud karena harus menikah dengan Bupati Rembang yang sudah berumur itu, Bu.”

Seperti ada hembusan angin yang menyapu wajah wanita yang sudah tak lagi muda itu setelah mendengar penuturan luar biasa dari anaknya, betapa terenyuh hatinya mendapati tingginya cita-cita gadis mungil itu meski ia mengetahui bahwa dirinya tidak mungkin mampu untuk mengikuti cita-cita luar biasa gadis kecil itu.

“Ibu senang, ibu senang sekali mendengarnya. Ayu, bagaimana jika Ayu tetap melanjutkan sekolah setelah SMA di dalam negeri saja? Ibu akan berusaha mencari uang untuk pendidikan Ayu, tetapi untuk sekolah di luar negeri, ibu...”

Belum sempat Sang Ibu melanjutkan kalimat yang bertujuan untuk memberi pengertian pada anaknya itu, gadis kecilnya dengan cekatan bicara lagi dengan ungkapan yang lagi-lagi terdengar bagai hembusan angin yang menyapu wajah keriput Sang Ibu, kali ini lebih sejuk, bahkan membuat jiwa Sang Ibu damai dan sangat bersyukur kepada Allah bahwa dirinya telah dikaruniai mutiara kehidupan, seorang Ayu dalam hidupnya.

“Siapa bilang Ayu akan menggunakan uang ibu? Ayu akan sekolah ke luar negeri dengan kemampuan Ayu sendiri. Ayu tidak akan pernah pergi ke negeri seberang jika menjadi beban ibu, Ayu tidak mau kaki ibu kesakitan setiap malam setelah mencari uang yang banyak untuk kuliah Ayu. Ayu bisa ‘kan, Bu?”

Kedua mata gadis kecil itu berbinar, gadis kecil itu benar-benar berharap ibunya memberikan jawaban memuaskan yang akan membuat dirinya semakin terpacu untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Bibir gadis kecil itu akhirnya membentuk lengkungan bak bulan sabit yang tertidur setelah ibunya mengangguk.

“Ayu pasti bisa, ibu yakin Ayu pasti bisa. Do’a ibu akan selalu menyertaimu, Ayu.” Jawab ibunya begitu bahagia sambil mengelus-elus pucuk kepala Ayu, membenamkan gadis itu semakin erat dalam rangkulannya.

Hari Kartini, hari yang sangat membekas pada diri Ayu, peringatan hari bersejarah yang mendobrak hati gadis kecil itu untuk mengobarkan semangat Kartini yang seharusnya juga dimiliki oleh seluruh wanita di Indonesia. Bukan hanya Ayu, Sang Ibu yang tak muda lagi itu kembali memiliki semangat Kartini yang ditularkan oleh puterinya.

“Setelah hembusan angin sejuk yang datang di hari istimewa ini, aku akan ikut berjuang bersamamu. Aku akan terus berusaha mendukung dan melindungimu untuk mewujudkan cita-citamu. Do’a ibu menyertaimu, Kartini mudaku.”




***





Terimakasih telah membaca.

Semoga flash fiction yang benar-benar flash ini bisa mendobrak semangat kalian juga ya, Readers! ^^

SELAMAT HARI KARTINI


Rabu, 01 April 2015

#FF2in1 : Hubungan Spesial

Tema 2


Hubungan Spesial

Oleh : Evilia Damayanti


*** 

Semua orang di dunia ini pasti pernah memimpikan sesuatu di dalam hidupnya, tak terkecuali seorang wanita sepertiku. Sejak kecil, aku selalu memimpikan ayahku akan mendampingiku di hari yang paling bahagia, di hari itu ayah akan menyerahkanku pada seorang pria yang akan menjagaku dan melindungiku.

Aku tidak pernah mengira hari bahagia itu akan datang terlalu cepat menghampiriku, sudah pasti ini adalah Takdir dari Tuhan yang sudah dipersiapkan begitu indah untukku. Aku adalah seorang wanita muda yang telah memiliki suami dua tahun terakhir ini, memiliki seorang pria selain ayahku yang benar-benar melindungiku.

Setiap hari aku akan menjadi objek pertama yang ditangkap kedua matanya setelah ia membuka mata dan saat ia hendak memejamkan matanya di malam hari, setiap pagi aku adalah orang yang menerima kecupannya saat aku sedang membuatkan kopi hangat untuknya. Hari-hari yang kurasa sangat menyenangkan, dan aku tidak menyesal telah memilih jalan hidupku menikah secepat ini. Alasanku untuk bahagia bersamanya justru lebih kuat dibandingkan dengan hal-hal lain yang dulu sempat membuatku ragu-ragu untuk memilih jalan hidup seperti ini, jalan hidup dengan memilih dirinya sebagai teman untuk mengarungi jalan hidupku.

“Kenapa kau selalu mengikutiku, Han?”

“Aku sudah bilang pada ayahmu, aku akan menikahimu.”

“Kamu gila? Aku masih kuliah, dan kita tidak punya hubungan spesial.” Aku agak marah setelah mendengar ucapan Rehan yang dulu kuanggap hanya gurauan.

“Apa untuk menikahi seorang wanita diwajibkan memiliki hubungan spesial dulu? Aku akan menciptakan hubungan spesial itu setelah kita sah menjadi pasangan!”

“Apa? Kau becanda?”

“Apa wajahku terlihat sedang bermain-main?”

Saat itu aku sempat ragu karena status mahasiswi yang masih kusandang, dan Rehan juga masih kuliah di kampus yang sama denganku. Jujur saja, laki-laki di kampusku yang paling menarik adalah Rehan, aku juga tahu bahwa pria itu tertarik padaku sejak awal dan aku juga sedikit tertarik padanya. Tapi, tanpa ada proses pendekatan apapun padaku dengan mengejutkan pria itu meminta langsung pada ayahku, dan aku semakin terkejut saat ayahku menyetujuinya bahkan ibuku juga.

“Pamali, Nduk. Kalau menolak lamaran bisa jadi perawan tua...”

Semua keluarga setuju karena Rehan memang pemuda yang baik, keluarganya pun cukup terpandang. Teman-temanku mengatakan bahwa aku adalah wanita terbodoh jika aku menolak pria sesempurna Rehan, meski bagiku Rehan tidak begitu sesempurna yang mereka katakan. Meski begitu, akhirnya aku menerima pria itu menjadi suamiku dan mulai belajar untuk menciptakan sebuah hubungan spesial yang pernah dijanjikannya.

Tuhan memberi jalan atas niat baik kami. Pria yang sekarang menjadi suamiku ini ternyata mampu menciptakan hubungan spesial yang pernah dijanjikannya, sebuah hubungan cinta yang tak memiliki batas karena kami sudah menikah dengan cara selayaknya manusia.

Impianku sebagai seorang wanita untuk menikah dan memiliki suami yang begitu pantas untukku telah tercapai, bahkan dengan jalan yang tak terduga karena jalan hidup manusia merupakan suatu takdir yang telah disiapkan oleh Tuhan. Dan takdir itu akan selalu menjadi rahasia hingga takdir itu terlaksana.







Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

#FF2in1 : Menantikanmu

Tema 1


 Menantikanmu
Oleh : Evilia Damayanti

***

Sepuluh tahun. Waktu yang banyak orang anggap sudah lebih dari cukup untuk melupakan sebuah kisah masa lalu, waktu yang akan mampu menggilas berbagai kenangan yang dulu pernah terasa sangat indah. Tapi tidak semua orang di belahan dunia ini berpendapat sama. Aku, aku adalah salah satu orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghapus semua kenangan yang telah banyak diukir oleh seorang bocah laki-laki itu sepuluh tahun yang lalu.

Aku begitu mengagumi anak itu, melihat senyum gusi merah muda yang selalu terarah padaku dibarengi dengan lengkung bibirnya yang membentuk bulan sabit saat tersenyum padaku.

“Suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu sebagai isteri setelah aku pulang dari Malaysia. Saat aku kembali, kita akan bermain bersama lagi di tempat ini. Tidak lama kok, aku hanya pergi sepuluh tahun.”

Kalimat itu yang sempat ia ucapkan padaku di masa lalu, dan selama bertahun-tahun aku terus mengingatnya bahkan sampai sekarang, pada usiaku yang sudah 20 tahun. Dan hari ini adalah tepat sepuluh tahun aku dan anak itu berpisah karena ia harus pindah ke Malaysia bersama orang tuanya yang mendapat tugas kerja di sana.

Aku datang ke tempat ini, sebuah taman yang menjadi tempat terakhir kami bertemu sepuluh tahun yang lalu. Tidak terlalu banyak perbedaan yang terjadi, hanya beberapa tempat bermain yang sudah direnovasi. Aku datang dengan harapan anak itu memenuhi janjinya untuk kembali ke Indonesia hari ini, tepat sepuluh tahun setelah kepergiannya dari negeri ini.

Aku yang sedang duduk berbinar saat kedua mataku menangkap sebuah objek yang sangat menarik. Aku mengenalinya meski sudah berpisah cukup lama karena aku mendapat foto terbarunya dari tetanggaku yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Aku yakin orang itu pasti dia, Andre, orang yang selama ini kunantikan.

“Andre,” sapaku sambil tersenyum. “Kamu Andre?”

“Maaf, kamu siapa?” Andre bertanya padaku sambil mengerutkan keningnya.

“Aku Via, temanmu,” jawabku. Kulihat Andre seperti berusaha mengingatku. “Aku Via yang berpisah denganmu di tempat ini, kau lupa?”

Andre terus menatapku, “Via? Via puteri Paman Herman?”

“Iya, aku Via.” Kataku antusias.

Aku dan Andre berjabat tangan, saling menanyakan kabar dan banyak hal lainnya. Hingga seseorang menghampiri kami, seorang wanita seumuran kami dengan menggendong seorang balita umur sekitar dua tahun, yang terlihat akrab dengan Andre.

“Ayah, kenapa ada di sini, ayo pulang.” Kata wanita itu ramah pada Andre.

“Ayah?”

“Oh iya, kenalkan. Ini isteriku dan ini anak kami, aku lupa memberitahumu karena terlalu bersemangat. Aku menikah muda, Vi.”

Bagai tersambar petir, pria yang selama ini kutunggu datang dengan kabar yang benar-benar membuatku terhempas. Andre, padahal aku selalu bertahan untuk mencintainya, aku selalu menunggunya di sini. Tapi, kurasa ini adalah penantian yang sia-sia. Saat ini, kuharap dia bahagia.



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku