Ayu, Kartini Muda Ibu
Oleh : Evilia Damayanti
***
Tengah hari terasa
sangat membakar telapak kaki seorang gadis kecil yang pulang dari sekolah tanpa
memakai seputunya. Hal itu membuat ibundanya menghela napas saat mendapati anak
kesayangan dalam keadaan telanjang kaki sudah berada di ambang pintu rumah.
“Kamu melepas sepatumu
lagi, Ayu?”
“Ibu ini seperti tidak
biasa saja.” Jawab gadis kecil bernama Ayu itu dengan menampilkan sebaris
senyum gusi yang terlihat begitu manis di mata ibunya.
“Bagaimana jika
menginjak paku? Bisa bahaya nanti, jangan kamu ulangi lagi!” kata Sang Ibu
dengan nada halus.
Ayu yang baru selesai
mencuci kedua kakinya itu lantas mendekati ibunya, merangkul dengan gelayutan
manja yang biasa ia lakukan setiap hari pada ibu yang sudah menghidupinya sendirian
sejak sepuluh tahun yang lalu itu. Ayu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara,
kedua kakak laki-lakinya sudah duduk di bangku SMA sedangkan Ayu saat ini masih
kelas VI SD.
“Kamu kenapa?” tanya
wanita paruh baya itu pada Ayu sambil menyelipkan helaian-helaian rambut acak-acakan
milik Ayu ke telinga kanan dan kiri gadis kecil itu.
“Tadi di sekolah ada
perayaan Hari Kartini, Bu. Ibu Kartini itu hebat ya, Bu. Beliau berjuang demi
para wanita agar mau maju, Ayu jadi ingin seperti Ibu Kartini. Ayu ingin terus
belajar, setelah SMA nanti, Ayu ingin melanjutkan sekolah Ayu ke luar negeri,
melanjutkan cita-cita Ibu Kartini yang saat itu belum bisa terwujud karena
harus menikah dengan Bupati Rembang yang sudah berumur itu, Bu.”
Seperti ada hembusan
angin yang menyapu wajah wanita yang sudah tak lagi muda itu setelah mendengar
penuturan luar biasa dari anaknya, betapa terenyuh hatinya mendapati tingginya
cita-cita gadis mungil itu meski ia mengetahui bahwa dirinya tidak mungkin
mampu untuk mengikuti cita-cita luar biasa gadis kecil itu.
“Ibu senang, ibu senang
sekali mendengarnya. Ayu, bagaimana jika Ayu tetap melanjutkan sekolah setelah
SMA di dalam negeri saja? Ibu akan berusaha mencari uang untuk pendidikan Ayu,
tetapi untuk sekolah di luar negeri, ibu...”
Belum sempat Sang Ibu
melanjutkan kalimat yang bertujuan untuk memberi pengertian pada anaknya itu,
gadis kecilnya dengan cekatan bicara lagi dengan ungkapan yang lagi-lagi
terdengar bagai hembusan angin yang menyapu wajah keriput Sang Ibu, kali ini
lebih sejuk, bahkan membuat jiwa Sang Ibu damai dan sangat bersyukur kepada
Allah bahwa dirinya telah dikaruniai mutiara kehidupan, seorang Ayu dalam
hidupnya.
“Siapa bilang Ayu akan
menggunakan uang ibu? Ayu akan sekolah ke luar negeri dengan kemampuan Ayu
sendiri. Ayu tidak akan pernah pergi ke negeri seberang jika menjadi beban ibu,
Ayu tidak mau kaki ibu kesakitan setiap malam setelah mencari uang yang banyak
untuk kuliah Ayu. Ayu bisa ‘kan, Bu?”
Kedua mata gadis kecil
itu berbinar, gadis kecil itu benar-benar berharap ibunya memberikan jawaban
memuaskan yang akan membuat dirinya semakin terpacu untuk mewujudkan cita-cita
mulia itu. Bibir gadis kecil itu akhirnya membentuk lengkungan bak bulan sabit
yang tertidur setelah ibunya mengangguk.
“Ayu pasti bisa, ibu
yakin Ayu pasti bisa. Do’a ibu akan selalu menyertaimu, Ayu.” Jawab ibunya
begitu bahagia sambil mengelus-elus pucuk kepala Ayu, membenamkan gadis itu
semakin erat dalam rangkulannya.
Hari Kartini, hari yang
sangat membekas pada diri Ayu, peringatan hari bersejarah yang mendobrak hati
gadis kecil itu untuk mengobarkan semangat Kartini yang seharusnya juga
dimiliki oleh seluruh wanita di Indonesia. Bukan hanya Ayu, Sang Ibu yang tak
muda lagi itu kembali memiliki semangat Kartini yang ditularkan oleh puterinya.
“Setelah hembusan angin
sejuk yang datang di hari istimewa ini, aku akan ikut berjuang bersamamu. Aku
akan terus berusaha mendukung dan melindungimu untuk mewujudkan cita-citamu. Do’a
ibu menyertaimu, Kartini mudaku.”
***
Terimakasih
telah membaca.
Semoga
flash fiction yang benar-benar flash ini bisa mendobrak semangat kalian juga
ya, Readers! ^^
SELAMAT
HARI KARTINI