Ale
dan Pohon Mangga dari Pak Camat
Oleh
: Evilia Damayanti
***
Sumber Gambar : fadhileinstein-blogspot-com
Ale
duduk termenung di dekat jendela rumah memandang air langit berjatuhan. Sesekali
ia juga memandang bedak pada wajah ibunya yang semakin menipis karena terlalu lama
menunggu hujan mereda. Karena hujan deras ibunya terpaksa menunda waktu yang
seharusnya menjadi rupiah. Sangat menyedihkan memang, ibu satu anak itu harus
menemani para pria genit di warung pinggir jalan sana setiap sore hingga larut
malam.
“Le,
Kau tidak ikut kumpul di balai desa? Pak Camat sudah tiba sejak tadi.” Teriak
Agus datang ke rumah Ale, “kata Ruli beliau akan bagi-bagi uang.”
Tersentak
Ale setelah mendengar berita itu. “Bu, aku mau ke balai desa.” Ucap Ale pada
ibunya lalu pergi berlari menuju balai desa bersama Agus.
Tak
lama kemudian, sampailah Ale dan Agus di tempat tujuan. Sudah banyak anak-anak
berkumpul di sana. Tidak biasanya mereka antusias seperti itu. Ah, sudah pasti
karena kabar itu.
“Jadi,
untuk melestarikan hutan kita perlu menjaga tumbuhan-tumbuhan agar tetap hidup.
Jangan kita menebang pohon sembarangan. Kalau hutan gundul siapa yang rugi?”
“Kitaaaaaaa...”
Jawab anak-anak serempak atas pertanyaan Pak Camat. Sungguh penuh wibawa Pak
Camat berpidato tentang perlunya menjaga hutan dan lingkungan.
Biasanya,
Ale selalu mengantuk ketika mendengarkan seseorang berpidato. Tetapi kali ini
berbeda. Setiap kata-kata yang diucapkan Pak Camat dapat dengan baik Ale resapi.
“Sayang
sekali tidak semua anak hadir di sini, padahal di depan ini ada bibit pohon
mangga yang akan dibagikan. Tugas kalian adalah menanam bibit pohon ini di
halaman rumah masing-masing. Tiga bulan kemudian saat kami berkunjung ke desa
ini lagi, kami akan memeriksa pertumbuhan pohon mangga ini dan akan memberikan
hadiah untuk orang yang pohon mangganya paling baik pertumbuhannya.” Kata Pak
Camat lagi.
Setelah
Pak Camat membagikan bibit-bibit pohon itu dan selesai mendata mereka, semua
anak pulang ke rumah masing-masing.
“Bu,
aku pulang membawa kabar gembira. Pak Camat tadi memberiku bibit...” Teriak Ale
langsung terhenti saat tangannya tidak berhasil membuka pintu yang sudah
terkunci itu. Anak berusia 12 tahun itu lantas mengangkat pot bunga yang ada di
teras rumahnya, ada kunci rumah di sana yang biasa ibunya simpan jika pergi
dari rumah ketika Ale sedang tidak ada di rumah.
Ale
membuka pintu. Ia langsung mengganti pakaian lalu mengeringkan rambutnya sambil
menengadah ke langit-langit rumah. Ia mengusap hidung dengan handuk kecil di
tangannya setelah tetesan air berhasil masuk ke lubang pernapasannya. Ya, rumah
Ale bocor.
“Jika
aku berhasil menjadikan bibit pohon ini tumbuh dengan bagus, aku akan membebaskanmu
dari pekerjaan itu, Bu.” Ucap Ale sambil meletakkan satu demi satu mangkuk
plastik pada lantai agar air yang merembes dari atap itu tidak semakin
membasahi seisi rumah.
***
Bel
istirahat berbunyi di SD tempat Ale dan kawan-kawan belajar. Hampir semua anak
di sana membicarakan sayembara dari Pak Camat. Ya, mereka menganggap itu adalah
sebuah sayembara, tak terkecuali Ale, Agus, dan Ruli.
“Sebenarnya, aku berpikir semalaman tentang
sayembara dari Pak Camat itu, Gus.”
“Berpikir
apa kau Rul?” Tanya Ale penasaran atas ucapan Ruli, anak terpandai di antara
mereka. Begitu juga dengan Agus yang kini fokus menunggu jawaban dari Ruli.
“Kalau
benar seperti kata mereka bahwa Pak Camat akan memberikan hadiah uang yang
banyak, dari mana beliau mendapatkan uang itu?”
“Kau
ini...” Ale mendorong bahu Ruli pelan, juga dengan Agus diiringi tawa yang menggelegar.
“Jangan
tertawa begitu Gus!” Ucap Ale, ia sedikit malu pada anak-anak perempuan yang
kini memandang ke arah mereka
“Habis
Ruli ini lucu. Dia paling pandai, tapi dipusingkan oleh hal itu. Tentu saja
dari sponsor Rul. Kau tidak tahu? Pak Camat akan datang lagi ke sini sekaligus
akan melakukan penanaman seribu pohon di bukit yang gundul itu,” ucap Agus
sambil menunjuk bukit gundul yang dimaksud. “Dan kegiatan itu dibiayai oleh
sponsor.”
“Oh
jadi begitu.” Ruli manggut-manggut, begitu juga dengan Ale yang di dalam benaknya
sangat semangat untuk mengikuti sayembara dari Pak Camat.
***
Hari
ini adalah hari minggu. Ale sibuk sekali mengurus pohon mangga yang tertanam
cukup baik di halaman rumahnya. Sementara itu di teras rumah, ibunya sedang membuat
adonan kue untuk dijual siang ini sambil mengamati anaknya.
“Apa
tidak cukup uang dari kue itu untuk makan dan sekolahku, Bu?” Tanya Ale
tiba-tiba.
“Kenapa kau tiba-tiba
menanyakan hal itu sekarang?”
“Aku
ingin ibu bekerja sebagai penjual kue saja.” Jawab Ale yang kini menunduk memandangi
tanah lembab di samping pohon mangga miliknya.
“Kau
juga, apa tidak cukup kau belajar saja sekarang? Jangan kau pandangi pohon itu
terus, paling-paling Pak Camat hanya akan memberikan buku tulis dan pensil
sebagai hadiah.”
“Ibu
selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku meminta ibu untuk berhenti.” Ale
semakin menunduk dengan rasa kecewa.
“Dengar
Le, kalau bapakmu tidak kawin lagi dengan orang itu, ibu juga tidak akan
seperti ini dan kau juga pasti bisa makan enak setiap hari.”
“Kalau
apa yang dikatakan Pak Camat itu benar, apa ibu mau berhenti dan mencari uang
dengan cara lain?” Tanya Ale lagi, masih penuh harap.
Ibu
Ale menghentikan kegiatan mengaduk adonan kue itu sejenak. Mengusap keringat
yang melembabkan keningnya, helaan napas lelah itu keluar hingga terdengar
sangat menyakitkan di telinga Ale.
“Baiklah.
Tapi itu juga kalau kau menang dan hadiah dari Pak Camat itu berupa uang yang
banyak, Le.” Jawab ibunya, lalu kembali mengaduk-aduk adonan.
“Aku
pasti menang, Bu.” Ucap Ale lantang, tidak lagi menunduk lesu menghadap tanah
seperti tadi.
***
Sore
hari di lapangan sepakbola. Hampir semua anak yang berpartisipasi dalam
perebutan hadiah sayembara pohon mangga berkumpul di sana.
“Ini
sudah sebulan sejak sayembara dimulai. Karena pohon kita sudah tumbuh cukup
tinggi, kita harus mulai menjaga jarak.” Ucap Umar, anak laki-laki yang diduga
sebagai pengusung dari pertemuan itu.
“Apa
maksudmu? Ceritakan kepada kami!” Tanya Ale bersemangat.
“Ya,
ceritakan kepada kami!” Dukung Agus dan Ruli yang duduk di samping kiri dan
kanan Ale bersamaan.
“Siapa
saja yang masuk halaman rumah peserta sayembara ini, dia akan dianggap sebagai
perusak pohon mangga lawannya!” Jawab Umar.
Semua
anak yang mendengar usulan Umar ternganga. Mereka berpikir bahwa hal itu sama
saja dengan melarang mereka untuk saling berkunjung ke rumah temannya sebelum
sayembara usai.
“Tapi
benar juga kata Umar. Ini untuk berjaga-jaga, mungkin saja ada yang curang dan
berniat merusak pohon mangga temannya. Jika sampai ada yang ketahuan, kita
sepakat saja membalas perbuatan itu bersama-sama.” Kata Laela, anak perempuan
berkepang dua.
“Baik,
kalian setuju tidak?” Umar bertanya.
Hening.
Mereka berpikir dulu sejenak sampai akhirnya memutuskan jawaban yang membuat
Umar melengkungkan senyum pada bibir tebalnya.
Akibat
perjanjian itu, mulai hari ini sampai Pak Camat datang, tidak akan ada acara
saling berkunjung ke rumah teman. Hal ini cukup membuat Ale, Agus, dan Ruli
termenung di lapangan itu. Saat orang lain selain mereka bertiga telah
benar-benar meninggalkan lapangan itu, pembicaraan tiga sekawan dimulai.
“Aku
bisa mati penasaran karena tidak bisa menonton TV di rumahmu, Gus.” Ucap Ale
dengan lemas.
“Aku
juga tidak bisa meminjam komputermu untuk belajar lewat internet, ke warnet itu
mahal, Gus.” Keluh Ruli yang mengarahkan pandangannya pada Ale, mereka
sepertinya senasib.
“Ini
hanya untuk dua bulan kawan. Apa kalian tidak mau hadiah itu?” tanya Agus
menyelidik dua sahabatnya.
“Aku
mau.” Jawab Ale tegas.
“Aku
setengah.” Kata Ruli.
“Loh
kok setengah Rul? Jika kau mendapat
uang itu, kau juga bisa membeli komputer dan internetan di rumahmu.” Kata Ale
yang memegang bahu kiri Ruli.
“Sekarang
aku mau tanya. Siapa di antara kita yang paling menginginkan hadiah itu?” Tanya
Ruli tanpa menjawab pertanyaan Ale dulu.
“Aku,
aku , aku...” Jawab Ale sendirian. Sedangkan Agus dan si penanya hanya diam memandangi
Ale yang antusias.
“Kalau
begitu sudah, kita mundur Gus. Biar Ale menghilangkan dua pesaing terberatnya.”
“Baiklah
Rul.” Jawab Agus.
“Hey,
apa-apaan kalian? Aku tidak mau. Apa karena aku sahabat kalian? Aku tidak mau
menang dengan cara seperti ini.” Ale menolak dengan serius. Bibirnya mengerucut
pertanda ia sangat tidak setuju dengan ide kedua sahabatnya.
“Yaaaa,
lagipula jika kami gugur pun belum tentu kau menang, Le.” Kata Agus.
“Tetap
saja aku tidak mau. Pokoknya aku mau kita berjuang bersama. Aku tidak mau
kalian mengalah karena aku.” Kata Ale lagi.
“Ya
ampun, baiklah. Kami ikuti keinginanmu. Tapi kau jangan menyesal ya, kalau
ternyata aku yang menang. Aku akan benar-benar membeli komputer dengan uang
hadiah itu.”
“Gitu
dong, Rul,” Ale tersenyum. “Kau bagaimana Gus?”
“Baiklah,”
jawab Agus setuju. “Ngomong-ngomong Le, apa kau ikut sayembara ini hanya karena
hadiah itu? Bagaimana jika Pak Camat berbohong?” Lanjut Agus membuat kedua
sahabatnya berpikir sejenak.
“Sebenarnya
tidak Gus. Meski aku sangat menginginkan hadiah terutama uang, aku melakukan
ini bukan semata karena itu.” Kata Ale sambil memainkan rumput yang ia
gelitikkan pada telinga Ruli.
Ruli
menggelinjang kegelian lalu menjauhkan tangan Ale dari telinganya, “jadi
maksudmu, kau melakukan itu karena kau ingin mengikuti apa kata Pak Camat untuk
menjaga alam ini Le?” Tanya Ruli menggoda Ale.
“Tentu
saja, Rul.”
Jawaban
Ale mengundang gelak tawa kedua sahabatnya secara bersamaan. Tentu saja itu
bukan sekedar candaan. Ale dan kedua sahabatnya melakukan hal itu karena mereka
juga bersedia menjaga lingkungan hidup mereka.
***
Tanpa
terasa penderitaan anak-anak peserta sayembara untuk tidak saling berkunjung
akan berakhir esok hari. Ya, besok adalah hari yang selama ini ditunggu-tunggu
oleh mereka.
“Pohonku
tumbuh sangat bagus. Apakah aku akan menang?.”
Baru
lewat tengah malam Ale bisa memejamkan matanya. Ia sudah berpesan pada ibunya
agar membangunkannya lebih awal karena kata Ruli malam ini Pak Camat sudah ada
di rumah Pak Kades dan besok beliau akan memeriksa pohon mangga ke rumah
anak-anak sambil berolahraga pagi bersama para pegawai dan sponsor.
Beberapa
jam kemudian sinar terang muncul dari langit timur. Ayam berkokok dan
orang-orang sebagian terbangun. Ale termasuk orang yang bangun pagi-pagi
sekali. Setelah menunaikan kewajibannya sebagai muslim di waktu subuh, Ale
membuka pintu rumah, ia bermaksud melihat pohon mangga yang tidak lama lagi
akan dinilai oleh Pak Camat.
Betapa
terkejutnya Ale saat ia membuka pintu rumahnya. Ale dengan cepat meraih pohon
mangga yang sudah tergeletak di tanah. Rupanya ada tangan jahil yang mengerjai
pohon miliknya semalam.
“Ibu,
ibu, ibu...” Teriak Ale diiringi air mata yang mengalir. Ia berusaha
menghilangkan air mata itu dengan kedua tangannya, namun tak bisa, kesedihan
dan kekecewaannya membuat air mata itu seakan mengalir sendiri.
“Ada
apa Ale? Kenapa pagi-pagi begini teriak? Nanti tetangga yang masih tidur merasa
terganggu.” Sahut ibunya menghampiri Ale.
“Ada
yang merusak pohonku, Bu.” Ale terisak, menghampiri ibunya dan menangis dalam pelukan
ibunya.
“Sudahlah
nak, jangan kau menangis hanya karena pohon ini.” Jawab ibunya mengusap air
mata anak berwajah basah itu.
“Tapi
aku sudah gagal menjaga pohon ini.” Ale masih terisak.
“Jadi
kau benar-benar percaya dengan hadiah itu?” tanya ibunya. Ale mengangguk, lalu
melepas pelukan ibunya dan mengambil tangkai pohon mangga yang lemah itu.
“Sebenarnya
bukan hanya karena hadiah itu, Bu.”
“Kalau
begitu ibu akan carikan pohon mangga seukuran pohon itu ke desa sebelah,
sepertinya masih ada waktu sebelum Pak Camat datang. Rumah kita paling ujung
dari balai desa, mungkin Pak Camat akan datang agak siang.” Lipur ibunya.
“Tunggu
Ibu!” Ale menarik ujung baju ibunya yang telah siap naik sepeda.
“Ada
apa Le?”
“Sudahlah,
percuma saja. Itu bukan pohon yang sama, lagipula aku tidak ingin berbohong.
Ibu sendiri yang katakan, jangan berbohong karena bohong itu kunci dari
hancurnya bangsa ini.” Jawab Ale.
“Maafkan
ibu, Nak. Sekarang lebih baik kau sarapan dan bersiap menyambut Pak Camat.
Katakan saja yang seharusnya kau katakan.”
Tiga
jam kemudian tibalah rombongan Pak Camat yang mengenakan seragam olahraga
berwarna hijau itu di rumah Ale, tidak ketinggalan anak-anak yang pohon
mangganya sudah dikunjungi oleh camat, anak-anak itu rupanya penasaran dengan
keadaan pohon mangga para pesaingnya. Ale dan ibunya menyambut kedatangan tamu
terhormat itu di samping pohon mangga yang sudah mati.
“Ada
apa dengan pohon manggamu?” tanya Pak Camat dengan ramah. Sementara tatapan
mata anak-anak itu seakan senang melihat pohon mangga Ale yang rusak, kecuali
tatapan Agus dan Ruli.
Ale
terdiam menunduk, ia tak berani menjawab pertanyaan dari Pak Camat. Ia takut Pak
Camat marah padanya karena tidak bisa menjaga amanat dengan baik.
“Sepertinya
semalam ada orang jahat yang merusak pohon anak saya pak. Pagi-pagi sekali dia
menangis melihat pohonnya sudah begini.” Ibu Ale menjawab mewakili anaknya.
“Jadi
begitu, jangan menangis nak. Kau hanya kurang beruntung saja.” Ucap Pak Camat
mengusap-usap puncak kepala anak itu.
Setelah
pemeriksaan selesai, hanya Agus dan Ruli yang tidak ikut bubar. Mereka
bermaksud membicarakan hal yang sangat penting dengan Ale.
“Kupikir
aku dan Agus saja yang pohonnya rusak, ternyata kau juga. Jangan-jangan yang
merusak pohon kita adalah... ” Ruli tampak berpikir keras. Dalam hati ia
menebak-nebak pelaku yang merusak pohon mangga mereka.
“Sudahlah
jangan kau berburuk sangka. Belum tentu orang yang kau curigai itu benar-benar
pelakunya.” Ucap Agus menanggapi Ruli.
“Benar
kata Agus, kalau salah tebak bisa jadi fitnah. Dan fitnah itu lebih kejam dari
pembunuhan. Benar bukan Gus?” kata Ale. Agus mengangguk.
Beberapa
menit kemudian disaat mereka semakin asik berbincang, datang Ramli, seorang
anak laki-laki yang tinggalnya bersebelahan dengan Agus. Napasnya menderu karena
baru saja berlari dari balai desa menuju rumah Ale.
“Apa
yang kalian lakukan? Anak-anak sudah berkumpul di balai desa. Semua harus
berkumpul kata Pak Camat!” ucap Ramli.
“Jadi
bagaimana? Kita akan datang ke sana atau tidak?” tanya Ale pada kedua sehabatnya.
“Baiklah,
ayo kita ke sana! Meski kita sudah kalah, tapi tujuan acara hari ini adalah
penanaman seribu pohon bukan?” kata Ruli.
“Ayo!”
jawab Ale dan Agus bersamaaan.
Mereka
bertiga berjalan menuju balai desa dipimpin oleh Ramli di barisan paling depan.
Setelah beberapa menit, sampailah mereka di halaman balai desa.
“Karena
semuanya sudah lengkap. Sekarang kita akan membacakan tiga orang pemenang. Baiklah,
Ketiga pemenang itu adalah Agus, Ruli, dan Aleeee.............”
Suasana
sejenak menjadi kacau karena ketidakpercayaan mereka terhadap apa yang baru
saja terdengar.
“Kenapa
mereka yang jelas-jelas telah gagal menjaga pohon itu Pak Camat? Bukankah
seharusnya selain dari mereka bertiga yang jadi pemenang?” tanya salah seorang
anak yang hadir.
“Bibit
pohon mangga yang tiga bulan lalu kalian terima adalah pohon mangga yang tidak
akan bertahan hidup sampai empat bulan. Bibit itu dibuat khusus untuk acara
ini. Oleh karena itu, crew acara ini dengan
bantuan Pak Kades berani melakukan perusakan pohon-pohon yang telah kalian
rawat itu dalam waktu semalam. Tujuannya hanya satu, yaitu menemukan kejujuran.
Ternyata tidak semua orang memiliki kejujuran. Kebanyakan di sini hanya
mengutamakan hadiah daripada mengutamakan kejujuran. Mereka ini adalah
anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi cemerlang bangsa, mereka jujur
tidak mengganti pohon mangga dengan yang baru. Mereka layak dinobatkan sebagai
pemenang.” Jawab Pak Camat panjang lebar.
“Aku
bisa membeli komputer.” Ruli tersenyum indah.
“Uang
ini untuk ibu.” Gumam Ale.
“Aku
bingung uang ini harus diapakan. Untuk apa ya?” batin Agus.
“Utamakan
dulu untuk biaya pendidikan kalian, setelah itu tanya orang tua.” Nasihat Pak
Camat pada tiga sekawan itu.
Betapa
bahagianya hati Ale selama perjalanan pulang menuju rumahnya setelah dinobatkan
sebagai pemenang bersama kedua sahabatnya dan setelah melakukan penanaman
seribu pohon di bukit yang gundul bersama Pak Camat dan yang lainnya.
Sesampainya
di rumah, Ale langsung memeluk ibunya dengan gembira. Anak itu terlalu gembira
hingga air matanya kembali membuncah.
“Lihat
ibu, ini tabungan lima juta untuk ibu.”
“Tunggu
Le, ini tabungan apa? Kenapa banyak sekali?” tanya ibunya yang jelas sangat
kebingungan menerima tabungan dalam jumlah besar itu tiba-tiba.
Akhirnya
Ale menceritakan bahwa sayembara dari Pak Camat itu benar adanya. Ale juga
menceritakan bagaimana ia dapat terpilih sebagai pemenang
“Ale,
kau benar, Nak. Maafkan ibu yang hampir membuat impianmu sirna,” ucap perempuan
yang telah melahirkan Ale itu dengan mata yang berkaca-kaca. “Uang ini akan ibu
gunakan pertama untuk keperluan sekolahmu. Sisanya akan ibu gunakan untuk buka
warung lagi seperti dulu. Ibu juga akan berhenti melakukan pekerjaan buruk
itu.”
“Terima
kasih, Bu.”
“Tidak,
ibu yang berterima kasih padamu.”
Indah
benar perasaan ibunda dari Ale karena memiliki anak yang berbakti dan penuh
kejujuran itu.
“Kau
ikut sayembara ini hanya karena uang ini?”
“Tidak
ibu, aku juga ingin menjaga tumbuh-tumbuhan seperti yang disuruh Pak Camat
saaat pidato. Setelah ini juga aku akan menjaga tumbuhan lain, tidak hanya
pohon mangga. Lingkungan kita butuh dijaga, hutan jangan sampai gundul karena
akan banyak hal negatif yang akan terjadi. Aku ingin menyelamatkan bumi, Bu.”
“Baiklah,
kau memang anak yang pandai.” Kata ibunya dengan bangga lalu mengecup kening
anak satu-satunya itu.
“Tidak
ibu, lebih pandai Ruli di sekolah.”
“Tidak,
bagi ibu kau adalah anak terpandai yang ada di Indonesia kita ini.”
Ale
tersenyum bahagia lalu memeluk ibunya. Sungguh beruntung bisa ada di sisi
ibunya meski tanpa ayah yang melindunginya. Dan yang lebih membahagiakan adalah
ia telah berhasil menghentikan ibunya dari perbuatan yang berdosa itu.
“Mulai
sekarang, aku akan menjagamu lebih baik lagi, Ibu. Dan tentu menjaga lingkungan
ini selama aku masih hidup.”
***
Terimakasih telah membaca, Readers!
Semoga sepenggal kisah fiktif ini isa memotivasi kita semua untuk lebih menjaga bumi ini.
SELAMAT HARI BUMI 22 APRIL 2015 ^^

Tidak ada komentar:
Posting Komentar