Rabu, 22 April 2015

Ale dan Pohon Mangga dari Pak Camat


Ale dan Pohon Mangga dari Pak Camat

Oleh : Evilia Damayanti


***



Sumber Gambar : fadhileinstein-blogspot-com




Ale duduk termenung di dekat jendela rumah memandang air langit berjatuhan. Sesekali ia juga memandang bedak pada wajah ibunya yang semakin menipis karena terlalu lama menunggu hujan mereda. Karena hujan deras ibunya terpaksa menunda waktu yang seharusnya menjadi rupiah. Sangat menyedihkan memang, ibu satu anak itu harus menemani para pria genit di warung pinggir jalan sana setiap sore hingga larut malam.


“Le, Kau tidak ikut kumpul di balai desa? Pak Camat sudah tiba sejak tadi.” Teriak Agus datang ke rumah Ale, “kata Ruli beliau akan bagi-bagi uang.”

Tersentak Ale setelah mendengar berita itu. “Bu, aku mau ke balai desa.” Ucap Ale pada ibunya lalu pergi berlari menuju balai desa bersama Agus.

Tak lama kemudian, sampailah Ale dan Agus di tempat tujuan. Sudah banyak anak-anak berkumpul di sana. Tidak biasanya mereka antusias seperti itu. Ah, sudah pasti karena kabar itu.

“Jadi, untuk melestarikan hutan kita perlu menjaga tumbuhan-tumbuhan agar tetap hidup. Jangan kita menebang pohon sembarangan. Kalau hutan gundul siapa yang rugi?”

“Kitaaaaaaa...” Jawab anak-anak serempak atas pertanyaan Pak Camat. Sungguh penuh wibawa Pak Camat berpidato tentang perlunya menjaga hutan dan lingkungan.

Biasanya, Ale selalu mengantuk ketika mendengarkan seseorang berpidato. Tetapi kali ini berbeda. Setiap kata-kata yang diucapkan Pak Camat dapat dengan baik Ale resapi.

“Sayang sekali tidak semua anak hadir di sini, padahal di depan ini ada bibit pohon mangga yang akan dibagikan. Tugas kalian adalah menanam bibit pohon ini di halaman rumah masing-masing. Tiga bulan kemudian saat kami berkunjung ke desa ini lagi, kami akan memeriksa pertumbuhan pohon mangga ini dan akan memberikan hadiah untuk orang yang pohon mangganya paling baik pertumbuhannya.” Kata Pak Camat lagi.

Setelah Pak Camat membagikan bibit-bibit pohon itu dan selesai mendata mereka, semua anak pulang ke rumah masing-masing.

“Bu, aku pulang membawa kabar gembira. Pak Camat tadi memberiku bibit...” Teriak Ale langsung terhenti saat tangannya tidak berhasil membuka pintu yang sudah terkunci itu. Anak berusia 12 tahun itu lantas mengangkat pot bunga yang ada di teras rumahnya, ada kunci rumah di sana yang biasa ibunya simpan jika pergi dari rumah ketika Ale sedang tidak ada di rumah.

Ale membuka pintu. Ia langsung mengganti pakaian lalu mengeringkan rambutnya sambil menengadah ke langit-langit rumah. Ia mengusap hidung dengan handuk kecil di tangannya setelah tetesan air berhasil masuk ke lubang pernapasannya. Ya, rumah Ale bocor.

“Jika aku berhasil menjadikan bibit pohon ini tumbuh dengan bagus, aku akan membebaskanmu dari pekerjaan itu, Bu.” Ucap Ale sambil meletakkan satu demi satu mangkuk plastik pada lantai agar air yang merembes dari atap itu tidak semakin membasahi seisi rumah.

***

Bel istirahat berbunyi di SD tempat Ale dan kawan-kawan belajar. Hampir semua anak di sana membicarakan sayembara dari Pak Camat. Ya, mereka menganggap itu adalah sebuah sayembara, tak terkecuali Ale, Agus, dan Ruli.

 “Sebenarnya, aku berpikir semalaman tentang sayembara dari Pak Camat itu, Gus.”

“Berpikir apa kau Rul?” Tanya Ale penasaran atas ucapan Ruli, anak terpandai di antara mereka. Begitu juga dengan Agus yang kini fokus menunggu jawaban dari Ruli.

“Kalau benar seperti kata mereka bahwa Pak Camat akan memberikan hadiah uang yang banyak, dari mana beliau mendapatkan uang itu?”

“Kau ini...” Ale mendorong bahu Ruli pelan, juga dengan Agus diiringi tawa yang menggelegar.

“Jangan tertawa begitu Gus!” Ucap Ale, ia sedikit malu pada anak-anak perempuan yang kini memandang ke arah mereka

“Habis Ruli ini lucu. Dia paling pandai, tapi dipusingkan oleh hal itu. Tentu saja dari sponsor Rul. Kau tidak tahu? Pak Camat akan datang lagi ke sini sekaligus akan melakukan penanaman seribu pohon di bukit yang gundul itu,” ucap Agus sambil menunjuk bukit gundul yang dimaksud. “Dan kegiatan itu dibiayai oleh sponsor.”

“Oh jadi begitu.” Ruli manggut-manggut, begitu juga dengan Ale yang di dalam benaknya sangat semangat untuk mengikuti sayembara dari Pak Camat.

***


Hari ini adalah hari minggu. Ale sibuk sekali mengurus pohon mangga yang tertanam cukup baik di halaman rumahnya. Sementara itu di teras rumah, ibunya sedang membuat adonan kue untuk dijual siang ini sambil mengamati anaknya.

“Apa tidak cukup uang dari kue itu untuk makan dan sekolahku, Bu?” Tanya Ale tiba-tiba.

“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu sekarang?”

“Aku ingin ibu bekerja sebagai penjual kue saja.” Jawab Ale yang kini menunduk memandangi tanah lembab di samping pohon mangga miliknya.

“Kau juga, apa tidak cukup kau belajar saja sekarang? Jangan kau pandangi pohon itu terus, paling-paling Pak Camat hanya akan memberikan buku tulis dan pensil sebagai hadiah.”

“Ibu selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku meminta ibu untuk berhenti.” Ale semakin menunduk dengan rasa kecewa.

“Dengar Le, kalau bapakmu tidak kawin lagi dengan orang itu, ibu juga tidak akan seperti ini dan kau juga pasti bisa makan enak setiap hari.”

“Kalau apa yang dikatakan Pak Camat itu benar, apa ibu mau berhenti dan mencari uang dengan cara lain?” Tanya Ale lagi, masih penuh harap.

Ibu Ale menghentikan kegiatan mengaduk adonan kue itu sejenak. Mengusap keringat yang melembabkan keningnya, helaan napas lelah itu keluar hingga terdengar sangat menyakitkan di telinga Ale.

“Baiklah. Tapi itu juga kalau kau menang dan hadiah dari Pak Camat itu berupa uang yang banyak, Le.” Jawab ibunya, lalu kembali mengaduk-aduk adonan.

“Aku pasti menang, Bu.” Ucap Ale lantang, tidak lagi menunduk lesu menghadap tanah seperti tadi.

***


Sore hari di lapangan sepakbola. Hampir semua anak yang berpartisipasi dalam perebutan hadiah sayembara pohon mangga berkumpul di sana.

“Ini sudah sebulan sejak sayembara dimulai. Karena pohon kita sudah tumbuh cukup tinggi, kita harus mulai menjaga jarak.” Ucap Umar, anak laki-laki yang diduga sebagai pengusung dari pertemuan itu.

“Apa maksudmu? Ceritakan kepada kami!” Tanya Ale bersemangat.

“Ya, ceritakan kepada kami!” Dukung Agus dan Ruli yang duduk di samping kiri dan kanan Ale bersamaan.

“Siapa saja yang masuk halaman rumah peserta sayembara ini, dia akan dianggap sebagai perusak pohon mangga lawannya!” Jawab Umar.

Semua anak yang mendengar usulan Umar ternganga. Mereka berpikir bahwa hal itu sama saja dengan melarang mereka untuk saling berkunjung ke rumah temannya sebelum sayembara usai.

“Tapi benar juga kata Umar. Ini untuk berjaga-jaga, mungkin saja ada yang curang dan berniat merusak pohon mangga temannya. Jika sampai ada yang ketahuan, kita sepakat saja membalas perbuatan itu bersama-sama.” Kata Laela, anak perempuan berkepang dua.

“Baik, kalian setuju tidak?” Umar bertanya.

Hening. Mereka berpikir dulu sejenak sampai akhirnya memutuskan jawaban yang membuat Umar melengkungkan senyum pada bibir tebalnya.

Akibat perjanjian itu, mulai hari ini sampai Pak Camat datang, tidak akan ada acara saling berkunjung ke rumah teman. Hal ini cukup membuat Ale, Agus, dan Ruli termenung di lapangan itu. Saat orang lain selain mereka bertiga telah benar-benar meninggalkan lapangan itu, pembicaraan tiga sekawan dimulai.

“Aku bisa mati penasaran karena tidak bisa menonton TV di rumahmu, Gus.” Ucap Ale dengan lemas.

“Aku juga tidak bisa meminjam komputermu untuk belajar lewat internet, ke warnet itu mahal, Gus.” Keluh Ruli yang mengarahkan pandangannya pada Ale, mereka sepertinya senasib.

“Ini hanya untuk dua bulan kawan. Apa kalian tidak mau hadiah itu?” tanya Agus menyelidik dua sahabatnya.

“Aku mau.” Jawab Ale tegas.

“Aku setengah.” Kata Ruli.

“Loh kok setengah Rul? Jika kau mendapat uang itu, kau juga bisa membeli komputer dan internetan di rumahmu.” Kata Ale yang memegang bahu kiri Ruli.

“Sekarang aku mau tanya. Siapa di antara kita yang paling menginginkan hadiah itu?” Tanya Ruli tanpa menjawab pertanyaan Ale dulu.

“Aku, aku , aku...” Jawab Ale sendirian. Sedangkan Agus dan si penanya hanya diam memandangi Ale yang antusias.

“Kalau begitu sudah, kita mundur Gus. Biar Ale menghilangkan dua pesaing terberatnya.”

“Baiklah Rul.” Jawab Agus.

“Hey, apa-apaan kalian? Aku tidak mau. Apa karena aku sahabat kalian? Aku tidak mau menang dengan cara seperti ini.” Ale menolak dengan serius. Bibirnya mengerucut pertanda ia sangat tidak setuju dengan ide kedua sahabatnya.

“Yaaaa, lagipula jika kami gugur pun belum tentu kau menang, Le.” Kata Agus.

“Tetap saja aku tidak mau. Pokoknya aku mau kita berjuang bersama. Aku tidak mau kalian mengalah karena aku.” Kata Ale lagi.

“Ya ampun, baiklah. Kami ikuti keinginanmu. Tapi kau jangan menyesal ya, kalau ternyata aku yang menang. Aku akan benar-benar membeli komputer dengan uang hadiah itu.”

“Gitu dong, Rul,” Ale tersenyum. “Kau bagaimana Gus?”

“Baiklah,” jawab Agus setuju. “Ngomong-ngomong Le, apa kau ikut sayembara ini hanya karena hadiah itu? Bagaimana jika Pak Camat berbohong?” Lanjut Agus membuat kedua sahabatnya berpikir sejenak.

“Sebenarnya tidak Gus. Meski aku sangat menginginkan hadiah terutama uang, aku melakukan ini bukan semata karena itu.” Kata Ale sambil memainkan rumput yang ia gelitikkan pada telinga Ruli.

Ruli menggelinjang kegelian lalu menjauhkan tangan Ale dari telinganya, “jadi maksudmu, kau melakukan itu karena kau ingin mengikuti apa kata Pak Camat untuk menjaga alam ini Le?” Tanya Ruli menggoda Ale.

“Tentu saja, Rul.”

Jawaban Ale mengundang gelak tawa kedua sahabatnya secara bersamaan. Tentu saja itu bukan sekedar candaan. Ale dan kedua sahabatnya melakukan hal itu karena mereka juga bersedia menjaga lingkungan hidup mereka.

***


Tanpa terasa penderitaan anak-anak peserta sayembara untuk tidak saling berkunjung akan berakhir esok hari. Ya, besok adalah hari yang selama ini ditunggu-tunggu oleh mereka.

“Pohonku tumbuh sangat bagus. Apakah aku akan menang?.”

Baru lewat tengah malam Ale bisa memejamkan matanya. Ia sudah berpesan pada ibunya agar membangunkannya lebih awal karena kata Ruli malam ini Pak Camat sudah ada di rumah Pak Kades dan besok beliau akan memeriksa pohon mangga ke rumah anak-anak sambil berolahraga pagi bersama para pegawai dan sponsor.

Beberapa jam kemudian sinar terang muncul dari langit timur. Ayam berkokok dan orang-orang sebagian terbangun. Ale termasuk orang yang bangun pagi-pagi sekali. Setelah menunaikan kewajibannya sebagai muslim di waktu subuh, Ale membuka pintu rumah, ia bermaksud melihat pohon mangga yang tidak lama lagi akan dinilai oleh Pak Camat.

Betapa terkejutnya Ale saat ia membuka pintu rumahnya. Ale dengan cepat meraih pohon mangga yang sudah tergeletak di tanah. Rupanya ada tangan jahil yang mengerjai pohon miliknya semalam.

“Ibu, ibu, ibu...” Teriak Ale diiringi air mata yang mengalir. Ia berusaha menghilangkan air mata itu dengan kedua tangannya, namun tak bisa, kesedihan dan kekecewaannya membuat air mata itu seakan mengalir sendiri.

“Ada apa Ale? Kenapa pagi-pagi begini teriak? Nanti tetangga yang masih tidur merasa terganggu.” Sahut ibunya menghampiri Ale.

“Ada yang merusak pohonku, Bu.” Ale terisak, menghampiri ibunya dan menangis dalam pelukan ibunya.

“Sudahlah nak, jangan kau menangis hanya karena pohon ini.” Jawab ibunya mengusap air mata anak berwajah basah itu.

“Tapi aku sudah gagal menjaga pohon ini.” Ale masih terisak.

“Jadi kau benar-benar percaya dengan hadiah itu?” tanya ibunya. Ale mengangguk, lalu melepas pelukan ibunya dan mengambil tangkai pohon mangga yang lemah itu.

“Sebenarnya bukan hanya karena hadiah itu, Bu.”

“Kalau begitu ibu akan carikan pohon mangga seukuran pohon itu ke desa sebelah, sepertinya masih ada waktu sebelum Pak Camat datang. Rumah kita paling ujung dari balai desa, mungkin Pak Camat akan datang agak siang.” Lipur ibunya.

“Tunggu Ibu!” Ale menarik ujung baju ibunya yang telah siap naik sepeda.

“Ada apa Le?”

“Sudahlah, percuma saja. Itu bukan pohon yang sama, lagipula aku tidak ingin berbohong. Ibu sendiri yang katakan, jangan berbohong karena bohong itu kunci dari hancurnya bangsa ini.” Jawab Ale.

“Maafkan ibu, Nak. Sekarang lebih baik kau sarapan dan bersiap menyambut Pak Camat. Katakan saja yang seharusnya kau katakan.”

Tiga jam kemudian tibalah rombongan Pak Camat yang mengenakan seragam olahraga berwarna hijau itu di rumah Ale, tidak ketinggalan anak-anak yang pohon mangganya sudah dikunjungi oleh camat, anak-anak itu rupanya penasaran dengan keadaan pohon mangga para pesaingnya. Ale dan ibunya menyambut kedatangan tamu terhormat itu di samping pohon mangga yang sudah mati.

“Ada apa dengan pohon manggamu?” tanya Pak Camat dengan ramah. Sementara tatapan mata anak-anak itu seakan senang melihat pohon mangga Ale yang rusak, kecuali tatapan Agus dan Ruli.

Ale terdiam menunduk, ia tak berani menjawab pertanyaan dari Pak Camat. Ia takut Pak Camat marah padanya karena tidak bisa menjaga amanat dengan baik.

“Sepertinya semalam ada orang jahat yang merusak pohon anak saya pak. Pagi-pagi sekali dia menangis melihat pohonnya sudah begini.” Ibu Ale menjawab mewakili anaknya.

“Jadi begitu, jangan menangis nak. Kau hanya kurang beruntung saja.” Ucap Pak Camat mengusap-usap puncak kepala anak itu.

Setelah pemeriksaan selesai, hanya Agus dan Ruli yang tidak ikut bubar. Mereka bermaksud membicarakan hal yang sangat penting dengan Ale.

“Kupikir aku dan Agus saja yang pohonnya rusak, ternyata kau juga. Jangan-jangan yang merusak pohon kita adalah... ” Ruli tampak berpikir keras. Dalam hati ia menebak-nebak pelaku yang merusak pohon mangga mereka.

“Sudahlah jangan kau berburuk sangka. Belum tentu orang yang kau curigai itu benar-benar pelakunya.” Ucap Agus menanggapi Ruli.

“Benar kata Agus, kalau salah tebak bisa jadi fitnah. Dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Benar bukan Gus?” kata Ale. Agus mengangguk.

Beberapa menit kemudian disaat mereka semakin asik berbincang, datang Ramli, seorang anak laki-laki yang tinggalnya bersebelahan dengan Agus. Napasnya menderu karena baru saja berlari dari balai desa menuju rumah Ale.

“Apa yang kalian lakukan? Anak-anak sudah berkumpul di balai desa. Semua harus berkumpul kata Pak Camat!” ucap Ramli.

“Jadi bagaimana? Kita akan datang ke sana atau tidak?” tanya Ale pada kedua sehabatnya.

“Baiklah, ayo kita ke sana! Meski kita sudah kalah, tapi tujuan acara hari ini adalah penanaman seribu pohon bukan?” kata Ruli.

“Ayo!” jawab Ale dan Agus bersamaaan.

Mereka bertiga berjalan menuju balai desa dipimpin oleh Ramli di barisan paling depan. Setelah beberapa menit, sampailah mereka di halaman balai desa.

“Karena semuanya sudah lengkap. Sekarang kita akan membacakan tiga orang pemenang. Baiklah, Ketiga pemenang itu adalah Agus, Ruli, dan Aleeee.............”

Suasana sejenak menjadi kacau karena ketidakpercayaan mereka terhadap apa yang baru saja terdengar.

“Kenapa mereka yang jelas-jelas telah gagal menjaga pohon itu Pak Camat? Bukankah seharusnya selain dari mereka bertiga yang jadi pemenang?” tanya salah seorang anak yang hadir.

“Bibit pohon mangga yang tiga bulan lalu kalian terima adalah pohon mangga yang tidak akan bertahan hidup sampai empat bulan. Bibit itu dibuat khusus untuk acara ini. Oleh karena itu, crew acara ini dengan bantuan Pak Kades berani melakukan perusakan pohon-pohon yang telah kalian rawat itu dalam waktu semalam. Tujuannya hanya satu, yaitu menemukan kejujuran. Ternyata tidak semua orang memiliki kejujuran. Kebanyakan di sini hanya mengutamakan hadiah daripada mengutamakan kejujuran. Mereka ini adalah anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi cemerlang bangsa, mereka jujur tidak mengganti pohon mangga dengan yang baru. Mereka layak dinobatkan sebagai pemenang.” Jawab Pak Camat panjang lebar.

“Aku bisa membeli komputer.” Ruli tersenyum indah.

“Uang ini untuk ibu.” Gumam Ale.

“Aku bingung uang ini harus diapakan. Untuk apa ya?” batin Agus.

“Utamakan dulu untuk biaya pendidikan kalian, setelah itu tanya orang tua.” Nasihat Pak Camat pada tiga sekawan itu.

Betapa bahagianya hati Ale selama perjalanan pulang menuju rumahnya setelah dinobatkan sebagai pemenang bersama kedua sahabatnya dan setelah melakukan penanaman seribu pohon di bukit yang gundul bersama Pak Camat dan yang lainnya.

Sesampainya di rumah, Ale langsung memeluk ibunya dengan gembira. Anak itu terlalu gembira hingga air matanya kembali membuncah.

“Lihat ibu, ini tabungan lima juta untuk ibu.”

“Tunggu Le, ini tabungan apa? Kenapa banyak sekali?” tanya ibunya yang jelas sangat kebingungan menerima tabungan dalam jumlah besar itu tiba-tiba.

Akhirnya Ale menceritakan bahwa sayembara dari Pak Camat itu benar adanya. Ale juga menceritakan bagaimana ia dapat terpilih sebagai pemenang

“Ale, kau benar, Nak. Maafkan ibu yang hampir membuat impianmu sirna,” ucap perempuan yang telah melahirkan Ale itu dengan mata yang berkaca-kaca. “Uang ini akan ibu gunakan pertama untuk keperluan sekolahmu. Sisanya akan ibu gunakan untuk buka warung lagi seperti dulu. Ibu juga akan berhenti melakukan pekerjaan buruk itu.”

“Terima kasih, Bu.”

“Tidak, ibu yang berterima kasih padamu.”

Indah benar perasaan ibunda dari Ale karena memiliki anak yang berbakti dan penuh kejujuran itu.

“Kau ikut sayembara ini hanya karena uang ini?”

“Tidak ibu, aku juga ingin menjaga tumbuh-tumbuhan seperti yang disuruh Pak Camat saaat pidato. Setelah ini juga aku akan menjaga tumbuhan lain, tidak hanya pohon mangga. Lingkungan kita butuh dijaga, hutan jangan sampai gundul karena akan banyak hal negatif yang akan terjadi. Aku ingin menyelamatkan bumi, Bu.”

“Baiklah, kau memang anak yang pandai.” Kata ibunya dengan bangga lalu mengecup kening anak satu-satunya itu.

“Tidak ibu, lebih pandai Ruli di sekolah.”

“Tidak, bagi ibu kau adalah anak terpandai yang ada di Indonesia kita ini.”

Ale tersenyum bahagia lalu memeluk ibunya. Sungguh beruntung bisa ada di sisi ibunya meski tanpa ayah yang melindunginya. Dan yang lebih membahagiakan adalah ia telah berhasil menghentikan ibunya dari perbuatan yang berdosa itu.

“Mulai sekarang, aku akan menjagamu lebih baik lagi, Ibu. Dan tentu menjaga lingkungan ini selama aku masih hidup.”



***



Terimakasih telah membaca, Readers!
Semoga sepenggal kisah fiktif ini isa memotivasi kita semua untuk lebih menjaga bumi ini.
SELAMAT HARI BUMI 22 APRIL 2015 ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar