White Handphone
Karya : Abdul Mugni
***
Aku
adalah benda mati yang bernama handphone.
Aku berwarna putih dan sering digunakan untuk menghubungi orang lain dari jarak
jauh. Aku tinggal di sebuah toko yang banyak sekali dihuni oleh handphone-handphone lain sepertiku. Suatu ketika, aku dibeli oleh seorang
anak bernama Kurniawan, banyak orang memanggilnya dengan sebutan Kurni. Dia
adalah anak yang rajin, terutama dalam hal belajar dan beribadah.
Aku
senang sekali dibeli oleh Kurni. Kurni sangat menyayangiku, dia menjagaku dan
merawatku. Aku selalu dibawa olehnya kemanapun. Dan yang membuatku paling
senang adalah saat dia menggunakanku untuk menelepon ibunya yang ada di luar
negeri. Aku bisa melihat Kurni tersenyum lebih manis dari biasanya. Ya, itu
semua karena Kurni sangat bahagia saat mendengar suara ibu yang sudah pasti
sangat dirindukannya. Karena ada aku, meski jarak mereka sangat jauh, mereka
bisa kapan saja saling bicara.
“Kapan
ibu pulang? Aku kangen ibu.” Kata Kurni dengan nada manja.
“Sabar
sayang, ibu akan pulang kalau sudah dapat banyak uang.” Jawab ibunya dengan
lembut. Meski begitu, aku masih bisa mendengar ada nada sedih yang terkandung
di dalam kata-katanya. Bagaimana tidak? Sudah setahun ini beliau tidak bisa
melihat berkembangan anaknya secara langsung.
“Aku
akan sabar, Bu. Dan terimakasih telah mengirim uang untuk membeli handphone ini, aku senang sekali, handphone ini bagus dan canggih.”
“Tapi
kamu harus ingat, jangan lupa belajar!”
“Iya,
aku selalu belajar kok, Bu.”
Begitulah
salah satu percakapan yang sering kudengar dari mereka. Aku bahagia sekali dan
merasa aku sangat berguna bagi manusia, khususnya bagi pemilikku, Kurniawan.
Hari
berganti hari dan kesedihan mulai menyergapku. Kurni memang masih selalu
menghubungi ibunya dan senyum itu masih selalu kulihat saat dia bicara dengan
ibunya. Tetapi, Kurni mulai sering memasang berbagai game pada tubuhku dan selalu memainkannya setiap hari, siang dan
malam sampai dia lupa waktu dan mengabaikan nasihat ibunya untuk rutin belajar.
Kurni
membuatku sangat kelelahan hingga tubuhku selalu panas karena membuatku bekerja
keras siang dan malam, dia sudah menjadi seorang gamer yang lupa daratan, aku kecewa pada pemilikku itu.
Enam
bulan sudah berlalu sejak aku dibeli oleh Kurni. Lambat laun aku mulai melemah,
aku drop dan mungkin tidak akan sanggup lagi menemani keseharian Kurni.
“Ayolah,
kamu tidak boleh rusak! Kalau kamu rusak aku tidak bisa menghubungi ibuku
sesuka hati lagi. Ibu sudah tahu aku sering main game dan pasti tidak akan mau membelikan handphone lagi kalau kamu rusak.” Ucap Kurni padaku.
Layarku
sudah buram, aku sering ngadat, dan
saat aku sangat kesakitan seperti itu Kurni tak segan untuk menepuk-nepuk
tubuhku dengan kedua tangannya. Aku tidak sanggup, maafkan aku pemilikku karena
aku akan pergi sekarang. Aku harap pemilikku ini menyesal dengan perbuatannya
karena telah menyalahgunakanku, telah menggunakanku untuk membuatnya semakin
bodoh karena malas belajar dan lebih memilih untuk memainkan game pada tubuhku.
“Maafkan
aku, kalau aku tahu kamu tidak akan awet, aku tidak akan sering menggunakanmu
bermain game. Hiduplah, hidup lagi
kumohon!” Kurni terisak menangisi kepergianku.
Selamat
tinggal Kurni, aku tidak mungkin hidup lagi. Aku harap kamu menyesal dan semoga
kamu cepat mendapatkan penggantiku dan tidak menggunakan penggantiku itu dengan
hal-hal yang akan merugikanmu. Sekali-kali boleh bermain game, asal jangan sampai lupa dengan berbagai kewajiban!
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar