Sabtu, 28 Februari 2015

Langit Biru



Sebelumnya, ada sedikit cerita tentang asal-usul dibuatnya cerpen ini. Sebenarnya ini adalah cerpen 'gagal' yang tidak terpilih oleh tim nulisbuku.com pada event Kasih Tak Sampai. Biar ni cerpen gatot, alias gagal total, jangan dikira gak ada perjuangannya loh. Gara-gara nih cerpen, aku bahkan konsultasi sama orang yang bersangkutan a.k.a pemeran Ardi dalam cerpen ini, Wkwkwkwk. Nekad? Yap! Paling gak aku mau tau dia setuju gak, ternyata dia gak protes apa-apa dan fine aja, malah ngasih beberapa masukan. Gak tau malu kali ya akunya, hehehe. Biar gak lolos, tapi aku tetap bangga, why? karena berkat adanya event dari nulisbuku.com itu, aku jadi nyeritain dalam bentuk tulisan kisah yang sulit terdefinisikan ini. Oke, jangan kepanjangan. Selamat membaca keanehan dari kisahku. ^^


 Langit Biru
Oleh : Covi Kim a.k.a Evilia D


*****

Aku sering memperhatikan gerak-geriknya di sudut kelas. Hanya dengan menatap kedua matanya, aku bisa sejenak merasakan kesejukan. Sampai ada seseorang menegurku.

“Kamu suka sama dia?”

Tidak perlu pertanyaan seperti itu bukan? Apa belum cukup jelas tatapanku ini untuk menggambarkan sebanyak apa aku menyukai dia? Aku terlalu menyukainya hingga aku tidak berani untuk sekedar mengucapkan selamat pagi atau selamat siang padanya. Aku hanya bisa menikmati indahnya dari bangku kedua di kelas ini.

“Coba lihat PR matematika milikmu!”

Lagi-lagi seorang teman mengganggu keteduhanku dalam memperhatikannya. Tidak ingin lama-lama diganggu, aku pasrah dan merelakan PR milikku pada temanku itu.

Lelaki yang selalu kuperhatikan itu bernama Ardi, yang selalu memiliki senyum manis setiap harinya. Aku sudah menyukainya lama, sejak kami disatukan dalam kelas X di SMA ini.


**

Hari ini serba basah karena hujan. Lantai kelas juga basah dan kotor oleh jejak kaki kami, para penghuni kelas yang masih berlalu-lalang meski bel masuk sudah berbunyi. Mungkin karena hujan deras ini, guru kami terlambat. Baguslah, kali ini aku berharap guruku terlambat lebih lama.

Aku sedang memperhatikan seseorang bicara dengan teman sebangkunya. Sesekali dia tersenyum, tertawa, datar, lalu terbahak. Ah! Semua ekspresi wajahnya, aku suka. Kali ini rambutnya masih basah karena hujan. Aku juga menyukai rambut basahnya. Dia terlihat semakin teduh, sejuk seperti langit biru yang udaranya bergerak pelan. Tanpa kuduga dia beranjak, entah apa yang dia ucapkan pada teman sebangkunya sebelum dia beranjak lalu mendekat ke arahku. Ya, dia mendekatiku. Hanya beberapa senti saja jarak kami sekarang. Tubuhku mendadak mengeluarkan keringat dingin, aku gugup dan malu. Saat dia tersenyum padaku, terasa ada sengatan aneh di dalam dada, banyak rasa tercampur jadi satu.

“Tulis nomormu di sini!”

Aku terkejut. Aku melihat ke seisi kelas termasuk ke arah teman sebangku Ardi, mereka semua tidak memperhatikanku dan Ardi, mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan polosnya aku langsung mengetik nomor ponselku, lalu menyimpannya pada kontak ponsel miliknya. Dia langsung pergi sesudahnya, meninggalkanku dengan degup jantung yang tidak pernah kurasa sebelumnya seperti ini.

Saat malam tiba, yang kulakukan hanya menunggu seseorang menghubungiku. Bukankah dia baru saja meminta nomorku tadi siang? Tentu dia ingin menghubungiku ‘kan?

Jantungku berdegup tak menentu lagi saat handphone berwarna putih itu bergetar. Ada nomor yang tidak kukenal memanggil. Aku tidak langsung mengangkatnya meski sejak tadi sudah kutunggu-tunggu. Tapi baiklah, aku harus mengangkatnya.

“Hallo..”  Ucapku menyapa duluan. Dengan hati tidak karuan aku terus menunggu seseorang di ujung telepon menjawab sapaku. Kulihat layar handphone, ternyata hanya missed call!


**

Esok harinya aku terbangun setelah melewati malam dengan menunggu seseorang menghubungiku meski pada akhirnya tidak terjadi komunikasi apapun malam tadi, Aku masih belum mengerti apa itu cinta. Sedalam apa rasa suka bisa didefinisikan sebagai cinta. Aku belum yakin. Hanya saja, aku akan disebut terlalu naif jika kukatakan bahwa aku tidak akan benar-benar mencintainya suatu hari nanti.

Hari ini untuk pertama kalinya, dia tersenyum langsung padaku. Itu mungkin bukan hal spesial baginya dan sudah pasti bukan hal spesial menurut orang lain. Tapi bagiku, senyum itu banyak mempengaruhi kembang-kempis tekanan sistol dan diastol jantungku. Di dalam sini terus saja berdetak tidak seperti saat aku mendapatkan senyuman dari teman kelas lainnya. Apa sudah bisa diukur sedalam apa menyukai dia dengan jantung bergemuruh seperti ini?

Setelah mendapat senyuman darinya, tiba-tiba aku ingin ke kantin untuk menikmati segelas es cokelat bersama dengan temanku.

“Ardi minta nomor hp Naya tuh dibayar kali sama Dafa. Sebenernya Dafa yang pengen tau. Mana mungkin ‘kan cowok sekeren Ardi deketin Naya.”

“Bener juga sih, banyak cewek cantik yang naksir Ardi, ngapain juga dia milih si Naya yang gak ada cantik-cantiknya itu.”

Aku mendengar ucapan mereka yang sedang berbincang dengan suara keras sambil duduk di sudut kantin. Mereka adalah teman sekelasku yang duduk di depan bangku Ardi, dua gadis cantik dengan gaya yang terlihat modis. Ada perasaan tidak menyenangkan yang tiba-tiba menyerangku, bukan karena ucapan mereka yang menilai bahwa aku tidak secantik gadis-gadis lain melainkan kenyataan bahwa Ardi, orang yang kusuka hanya menjadikanku sebagai jalan baginya untuk mendapatkan uang dari Dafa, teman sebangkunya.

Aku meninggalkan temanku sendirian di kantin. Aku menuju kelas untuk langsung menemui Dafa. Aku berniat menghubungi nomor handphone yang missed call semalam setelah tiba di kelas dan ternyata tidak ada Dafa, bahkan Ardi juga tidak ada. Aku yakin itu nomor Dafa, aku ingin memarahinya, memprotesnya, dan meluapkan kekesalanku karena dia seenaknya saja menggunakan uangnya untuk mempermainkanku. Ya, kupikir Dafa mempermainkan perasaanku. Dia tidak sadar bahwa usahanya untuk mencari tahu nomorku dengan membayar Ardi justru melukai hatiku yang sebelumnya sudah terbang dan dengan tiba-tiba jatuh terhempas dengan keras.

“Ini Dafa ya? Aku mau bilang sama kamu. Kalau kamu mau dapetin nomor aku, minta langsung. Aku gak suka ya, terus bilangin tuh ke temen kamu, jangan hanya karena uang dia mau nurut aja sama kamu. Aku gak suka orang-orang kayak kalian!” Ucapku tanpa bisa mengontrol diriku. Aku tidak biasanya seperti ini. Aku kesal, terlalu kesal.

“Kamu dimana?”

“Aku? Aku di kelas. Kenapa? Kamu gak terima aku kasarin?

Teman-teman sekelas menatapku curiga karena aku bicara dengan emosi. Tatapan-tatapan itu seakan mengintimidasiku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera memarahi Dafa secara langsung karena dia membuatku seperti orang bodoh.

Tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang dengan kasar. Orang itu tidak peduli dengan tatapan-tatapan mata yang menatap semakin curiga itu. Aku sedikit kesakitan karena orang itu menggenggam lenganku cukup erat, sampai aku mengibaskan tanganku dan terlepas dari genggaman orang itu.

“Ardi...” Kataku saat menyadari orang yang menyeretku dengan kasar itu adalah Ardi.

“Aku Ardi, orang yang kamu telepon barusan itu aku, bukan Dafa.”

Baru beberapa detik yang lalu aku sangat marah, dan dengan beberapa detik saja orang di hadapanku ini mampu meluluhkan emosiku, hanya meluluhkan tidak menghilangkan.

“Aku tidak terima kamu jadikan mesin uang.”

“Kamu salah paham Nay.”

“Aku tidak peduli, yang aku tau aku salah nilai kamu.”

Aku pergi dengan langkah cepat meninggalkannya di sudut sekolah. Aku mendengar langkah kakinya mengikutiku. Dan tak lama kemudian dia berhasil menyamakan langkah denganku tepat di depan pintu kelas kami.

“Aku bohong sama Dafa, aku bilang aku gagal dapatkan nomor kamu. Dan nomor yang kamu hubungi tadi itu nomorku, yang tadi malam itu nomorku. Aku mau menghubungi  kamu semalam, tapi aku bingung harus ngomong apa.”

Aku semakin terkejut mendengar penjelasannya, juga Dafa yang dari tadi sudah ada di dalam kelas memperhatikan aku dan Ardi. Wajah Dafa terlihat kesal pada sahabatnya. Aku tidak tahu pasti apa yang sedang Dafa pikirkan tentang sahabatnya. Aku hanya berlalu dan duduk di kursiku. Sementara Ardi mengejar Dafa yang dengan kesal meninggalkan kelas bahkan lelaki itu sempat menabrak bahuku dengan kasar.

Aku hanya merasa sangat terkejut dengan kejadian mendadak ini. Belum lama aku merasa seperti orang asing yang tidak ada arti apa-apa bagi Ardi, tapi sekarang aku justru menjadi biang masalah retaknya persahabatan diantara mereka.


**

Sejak kejadian hari itu, Ardi seperti berusaha menghindar dariku, bahkan saat berpapasan pun tidak ada senyum yang dia pamerkan. Aku terima, mungkin aku hanya merasa terlalu berharap padanya. Dan juga, aku tidak ingin merusak persahabatan mereka. Dafa? Dia sempat mengungkapkan perasaannya padaku, tetapi aku menolaknya dengan alasan ada orang lain di hatiku, dan itu pun bukan Ardi. Ya, aku berbohong pada Dafa.

Lama-lama aku benar-benar menyukai semua yang ada pada Ardi lebih-lebih dari sebelumnya. Bahkan saat aku melihat dia berjalan menjauhiku, aku terus melihat punggungnya. Di sana terlihat nyaman jika bisa kujadikan sebagai sandaran. Tidak bisa aku berpikir tenang, semua sudah kacau teraduk. Masih suka atau sudah menjadi  cinta yang dalam?

Saat dia kembali , berjalan menghadapku dan berlalu. Dia kembali duduk di sudut kelas. hanya dengan dia kembali, aku senang. Aku kenapa? Dia benar-benar seperti langit biru yang ingin selalu kulihat. Perasaan dalam diam yang semakin gila ini terus menjadi penghuni setia. Dan saat aku sadar telah jauh terjatuh untuknya, aku merasa tidak bisa menggapainya. Dia terlalu luar biasa untuk wanita biasa sepertiku. Sekarang yang aku bisa hanya terus memendam dalam diam. Aku pasrah meruntuki kebodohan yang hanya bisa menikmati indahnya dalam kesendirian.

Aku mulai mengerti kali ini, langit yang biru memang terlalu tinggi. Aku tidak akan bisa melompat meski hanya untuk menghirup udaranya.


**

Tiga tahun kemudian. Di hari itu, ujian nasional tiba. Jantungku tidak lebih berdebar cepat saat membayangkan seberapa sulit soal-soal yang akan kuhadapi saat duduk di kursi panas ruang ujian di samping musola sekolahku itu. Jantungku lebih berdebar karena berpapasan dengannya, seseorang yang baru saja ingin kulupakan tadi malam. Dia masih terlalu manis untuk begitu saja kuabaikan.

Selama ujian aku tidak ingin terlalu belajar melupakan dia. Aku pasrah akan bagaimana perasaanku dan lebih fokus pada soal-soal ujian. Tahu tidak? Dia menjadi salah satu motivatorku untuk tidak menyerah belajar dan berlatih mengisi soal-soal selama persiapan ujian nasional. Hah, aku sudah gila.

Saat ujian nasional hari terakhir usai. Aku berkeliling bersama teman lelakiku, dia temanku yang paling dekat dan sudah kuanggap seperti saudara. Dia mengunjungi ruang ujian tempat wanita yang dia suka, maksudnya hanya untuk bisa melihat meski sebentar. Aku tidak bisa menebak bagaimana kondisi jantung temanku itu, apakah sama sepertiku yang dag-dig-dug ini? Bukan karena aku menyimpan rasa pada temanku, itu karena ruang ujian wanita yang temanku suka itu sama dengan ruang ujian Ardi.

Temanku berlalu, aku masih di belakangnya. Mengendap-endap, menatap kiri-kanan untuk memastikan tidak ada orang yang akan melihat aksiku beberapa detik lagi. Brreeeeet, dengan cepat aku mengambil foto Ardi yang terpampang di jendela kaca ruang ujian. Kusimpan dalam kantong baju seragam sekolahku. Temanku berbalik menatapku, memastikan aku tidak ketinggalan langkah lebih jauh darinya. Aku hanya cengengesan, andai temanku tahu hal apa yang baru saja kulakukan, dia mungkin akan mengolok-olok dengan candaannya. Ya, aku seorang pencuri. Aku pencuri foto hitam-putih si pemilik mata teduh itu. Aku tidak bisa memiliki hatinya, tapi mungkin aku cukup pantas hanya memiliki foto hitam-putih curian itu.

Menyerah sebelum memperjuangkan. Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah kulakukan. Aku menyerah untuknya, berusaha melupakan perasaan yang bahkan sulit untuk padam. Aku akan membuka hati untuk orang lain yang mengharapkanku. Mulai hari ini aku akan melupakan langit biru yang tinggi itu, aku harus mulai memperhatikan laut biru yang bisa kusentuh tanpa harus melompat, meski aku akan tenggelam pada akhirnya.


**

Aku benci aku. Kenapa jantungku masih saja seperti dulu? Padahal ini sudah tiga tahun sejak aku mulai menyukainya. Bahkan semakin parah dan melukaiku sendiri. Dan untuk membalut lukaku, aku mencari sandaran hati yang lain. Aku berusaha memberikan hatiku untuk seseorang yang kini menjadi kekasihku. Tetapi malam ini, aku akan mengecewakan lelaki yang sedang berusaha membalut lukaku jika ia mengetahui dengan siapa aku sekarang di tempat ini. Ardi ada di hadapanku. Aku tidak pernah menyangka akan datang hari seperti ini. Di tengah malam menghadap lautan, juga angin yang cukup mengusik kehangatan suhu tubuhku. Hanya karena dia aku harus tetap diam di tempat ini.

Aku masih ingat perjalanan ke tempat ini. Untuk pertama kalinya aku kehilangan rasa maluku, memberanikan diri mengalungkan kedua lengan ini pada pinggangnya dari belakang. Aku terlalu lelah dengan perasaanku sendiri hingga aku ingin sekali bersandar pada punggung yang sudah sejak lama kukagumi itu. Seperti perkiraanku, tempat yang nyaman untuk bersandar.

Matanya semakin teduh malam ini, terus menatapku tanpa bisa kuartikan. Jangan terus menatapku, aku bisa menangis. Aku terlalu bodoh untuk bisa mengerti, aku juga terlalu bodoh tidak bisa memiliki apa yang kuinginkan. Aku menginginkan lelaki di hadapanku ini. Tapi tidak mungkin kulakukan. Lagipula aku tidak pernah mampu mengartikan bahkan sampai sekarang, apa dia pernah memiliki perasaan yang sama sepertiku?

Apakah malam telah membiusku? Atau justru lelaki di hadapanku ini yang telah membiusku untuk semakin terhanyut dalam perasaanku? Aku hanya bisa balas menatap dalam kedua manik mata indah itu. Aku berusaha menyelami maksudnya, aku berusaha meramal keinginannya. Tetapi, tatapan matanya terlalu ambigu untuk kuterjemahkan. Di sana ada rasa bersalah yang kubaca, tadi sudah kukatakan, aku tidak yakin!

Sampai itu terjadi, hal yang membuat jantungku kembali bereaksi abnormal dan tidak bisa kukendalikan dengan hanya menggunakan akal sehatku ini. Diam, hanya itu yang kulakukan saat dia mulai mengungkapkan sesuatu tanpa kata.

Memelukku untuk beberapa detik, menjatuhkan air matanya untukku...

Pulang dari tempat itu, tangisku memecah. Segunung penyesalan karena tidak memanfaatkan banyak waktu dengannya. Seharusnya aku bisa tertawa bersama dengan lelaki itu meski hanya sekedar teman, bukan mengakhiri semuanya tanpa memulai seperti ini. Kisah cinta apa ini? Aneh dan tidak bisa kumengerti. Tetapi memang benar sebutan langit biru itu untuknya. Bukan langit biru namanya jika mudah dan dapat kugapai. Sampai kisahku dengan langit biru itu berakhir, tidak sempat aku mengatakannya bahwa aku sangat mencintainya selama ini. Aku memang manusia biasa yang tidak bisa melompat atau terbang untuk menyentuh langit biru sejauh dan setinggi itu.


*****

THE END

6 komentar:

  1. nie dimodif kan noona?
    dulu aldi baca ending y beda dh,,,,he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Aldi, beda sama yg waktu itu.
      Ada sedikit perubahan di sana sini.
      Malu kalo yg dulu, Wkwkwkwk :D

      Makasih udah sering mampir ke blog noona ya de ^^

      Hapus
  2. mencuri foto hitam putih d kaca jendela.
    aku udah ga asing sama ini... hehhe d ff kk yang dulu pernah ada adegan ini jg kan? :D
    ceritanya oke kak.. cuma agak bingung pas bagian akhir. jd si naya pas mau tamat SMA itu udh punya cowok lain yang jd pembalut luka dia alias pelarian dia. trus yg adegan terakhir d malam hari d pantai itu, naya berdua sama ardi. tapi mrka ga ngomong apa2. cuma berbagi isyarat lewat tatapan. gitu ya kak?
    ohya kak, td pas pembukaannya kk bilang konsul sama tokoh ardi d dunia nyata, gmn sih rasanya kak? hahaha aku kepo :p
    ini kisahnya memang terinspirasi dr kisah nyata ya kak? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ksh aslinya ada d cerita ini de. Klo di ff yg itu cm nyomot dr ksh kk. Hehe

      Kk jg bingung. Hehe.. td kan udh k ceritain y di BBM. Dsni gausah dijelasin lg ok.

      Rasanya. Hmmm... ya kyk nabur garam di luka yg blm kering gt lah. Hahaha. Udh move on kok , cm psti klo ingt ada ksl dan nyeselny jg. Taulh knp dr cerita ini jg. Intinya gt lah mnta ijin scr ga langsung, dan ga diprotes berarti boleh bhkan ngasih msukan brbagai typo yg berserakan. :D
      Yap. Ini jelas pnglmn pribadi. Cuma yg adegan mta nope dmi uang itu cm fiktif de, bumbu2 aja. Juga pas ending tu ada yg beda jg dkit... tp scr gars bsr ini dr pnglaman pribadi...

      Baru kali biar ga jd kontributor tp perasaan kyk jd pmenang trbaik.. hehehe..
      Ahhh mksh nulisbukucom idh adain event ini :D

      Hapus
  3. Kyaa~ kakak :" huwaaaa bingung ma komen apa... spechlesss haha x"D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha.... bingung 'kan :') apalagi yg nulis :')

      Hapus