Sebelumnya, ada sedikit cerita tentang asal-usul dibuatnya cerpen ini. Sebenarnya ini adalah cerpen 'gagal' yang tidak terpilih oleh tim nulisbuku.com pada event Kasih Tak Sampai. Biar ni cerpen gatot, alias gagal total, jangan dikira gak ada perjuangannya loh. Gara-gara nih cerpen, aku bahkan konsultasi sama orang yang bersangkutan a.k.a pemeran Ardi dalam cerpen ini, Wkwkwkwk. Nekad? Yap! Paling gak aku mau tau dia setuju gak, ternyata dia gak protes apa-apa dan fine aja, malah ngasih beberapa masukan. Gak tau malu kali ya akunya, hehehe. Biar gak lolos, tapi aku tetap bangga, why? karena berkat adanya event dari nulisbuku.com itu, aku jadi nyeritain dalam bentuk tulisan kisah yang sulit terdefinisikan ini. Oke, jangan kepanjangan. Selamat membaca keanehan dari kisahku. ^^
Langit Biru
Oleh : Covi Kim a.k.a Evilia D
*****
Aku sering memperhatikan
gerak-geriknya di sudut kelas. Hanya dengan menatap kedua matanya, aku bisa
sejenak merasakan kesejukan. Sampai ada seseorang menegurku.
“Kamu suka sama dia?”
Tidak perlu pertanyaan seperti
itu bukan? Apa belum cukup jelas tatapanku ini untuk menggambarkan sebanyak apa
aku menyukai dia? Aku terlalu menyukainya hingga aku tidak berani untuk sekedar
mengucapkan selamat pagi atau selamat siang padanya. Aku hanya bisa menikmati
indahnya dari bangku kedua di kelas ini.
“Coba lihat PR matematika
milikmu!”
Lagi-lagi seorang teman
mengganggu keteduhanku dalam memperhatikannya. Tidak ingin lama-lama diganggu,
aku pasrah dan merelakan PR milikku pada temanku itu.
Lelaki yang selalu kuperhatikan
itu bernama Ardi, yang selalu memiliki senyum manis setiap harinya. Aku sudah
menyukainya lama, sejak kami disatukan dalam kelas X di SMA ini.
**
Hari ini serba basah karena
hujan. Lantai kelas juga basah dan kotor oleh jejak kaki kami, para penghuni
kelas yang masih berlalu-lalang meski bel masuk sudah berbunyi. Mungkin karena
hujan deras ini, guru kami terlambat. Baguslah, kali ini aku berharap guruku
terlambat lebih lama.
Aku sedang memperhatikan
seseorang bicara dengan teman sebangkunya. Sesekali dia tersenyum, tertawa,
datar, lalu terbahak. Ah! Semua ekspresi wajahnya, aku suka. Kali ini rambutnya
masih basah karena hujan. Aku juga menyukai rambut basahnya. Dia terlihat
semakin teduh, sejuk seperti langit biru yang udaranya bergerak pelan. Tanpa
kuduga dia beranjak, entah apa yang dia ucapkan pada teman sebangkunya sebelum
dia beranjak lalu mendekat ke arahku. Ya, dia mendekatiku. Hanya beberapa senti
saja jarak kami sekarang. Tubuhku mendadak mengeluarkan keringat dingin, aku
gugup dan malu. Saat dia tersenyum padaku, terasa ada sengatan aneh di dalam
dada, banyak rasa tercampur jadi satu.
“Tulis nomormu di sini!”
Aku terkejut. Aku melihat ke
seisi kelas termasuk ke arah teman sebangku Ardi, mereka semua tidak memperhatikanku
dan Ardi, mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan polosnya aku
langsung mengetik nomor ponselku, lalu menyimpannya pada kontak ponsel
miliknya. Dia langsung pergi sesudahnya, meninggalkanku dengan degup jantung
yang tidak pernah kurasa sebelumnya seperti ini.
Saat malam tiba, yang kulakukan
hanya menunggu seseorang menghubungiku. Bukankah dia baru saja meminta nomorku
tadi siang? Tentu dia ingin menghubungiku ‘kan?
Jantungku berdegup tak menentu
lagi saat handphone berwarna putih
itu bergetar. Ada nomor yang tidak kukenal memanggil. Aku tidak langsung
mengangkatnya meski sejak tadi sudah kutunggu-tunggu. Tapi baiklah, aku harus
mengangkatnya.
“Hallo..”
Ucapku menyapa duluan. Dengan hati tidak
karuan aku terus menunggu seseorang di ujung telepon menjawab sapaku. Kulihat
layar handphone, ternyata hanya missed call!
**
Esok harinya aku terbangun setelah
melewati malam dengan menunggu seseorang menghubungiku meski pada akhirnya
tidak terjadi komunikasi apapun malam tadi, Aku masih belum mengerti apa itu
cinta. Sedalam apa rasa suka bisa didefinisikan sebagai cinta. Aku belum yakin.
Hanya saja, aku akan disebut terlalu naif jika kukatakan bahwa aku tidak akan
benar-benar mencintainya suatu hari nanti.
Hari ini untuk pertama kalinya,
dia tersenyum langsung padaku. Itu mungkin bukan hal spesial baginya dan sudah
pasti bukan hal spesial menurut orang lain. Tapi bagiku, senyum itu banyak
mempengaruhi kembang-kempis tekanan sistol dan diastol jantungku. Di dalam sini
terus saja berdetak tidak seperti saat aku mendapatkan senyuman dari teman
kelas lainnya. Apa sudah bisa diukur sedalam apa menyukai dia dengan jantung
bergemuruh seperti ini?
Setelah mendapat senyuman darinya,
tiba-tiba aku ingin ke kantin untuk menikmati segelas es cokelat bersama dengan
temanku.
“Ardi minta nomor hp Naya tuh
dibayar kali sama Dafa. Sebenernya Dafa yang pengen tau. Mana mungkin ‘kan
cowok sekeren Ardi deketin Naya.”
“Bener juga sih, banyak cewek cantik
yang naksir Ardi, ngapain juga dia milih si Naya yang gak ada cantik-cantiknya itu.”
Aku mendengar ucapan mereka yang
sedang berbincang dengan suara keras sambil duduk di sudut kantin. Mereka
adalah teman sekelasku yang duduk di depan bangku Ardi, dua gadis cantik dengan
gaya yang terlihat modis. Ada perasaan tidak menyenangkan yang tiba-tiba
menyerangku, bukan karena ucapan mereka yang menilai bahwa aku tidak secantik
gadis-gadis lain melainkan kenyataan bahwa Ardi, orang yang kusuka hanya
menjadikanku sebagai jalan baginya untuk mendapatkan uang dari Dafa, teman
sebangkunya.
Aku meninggalkan temanku
sendirian di kantin. Aku menuju kelas untuk langsung menemui Dafa. Aku berniat menghubungi
nomor handphone yang missed call semalam setelah tiba di
kelas dan ternyata tidak ada Dafa, bahkan Ardi juga tidak ada. Aku yakin itu
nomor Dafa, aku ingin memarahinya, memprotesnya, dan meluapkan kekesalanku
karena dia seenaknya saja menggunakan uangnya untuk mempermainkanku. Ya,
kupikir Dafa mempermainkan perasaanku. Dia tidak sadar bahwa usahanya untuk
mencari tahu nomorku dengan membayar Ardi justru melukai hatiku yang sebelumnya
sudah terbang dan dengan tiba-tiba jatuh terhempas dengan keras.
“Ini Dafa ya? Aku mau bilang sama
kamu. Kalau kamu mau dapetin nomor aku, minta langsung. Aku gak suka ya, terus
bilangin tuh ke temen kamu, jangan hanya karena uang dia mau nurut aja sama
kamu. Aku gak suka orang-orang kayak kalian!” Ucapku tanpa bisa mengontrol
diriku. Aku tidak biasanya seperti ini. Aku kesal, terlalu kesal.
“Kamu dimana?”
“Aku? Aku di kelas. Kenapa? Kamu
gak terima aku kasarin?
Teman-teman sekelas menatapku
curiga karena aku bicara dengan emosi. Tatapan-tatapan itu seakan
mengintimidasiku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera memarahi Dafa secara
langsung karena dia membuatku seperti orang bodoh.
Tiba-tiba tanganku ditarik oleh
seseorang dengan kasar. Orang itu tidak peduli dengan tatapan-tatapan mata yang
menatap semakin curiga itu. Aku sedikit kesakitan karena orang itu menggenggam
lenganku cukup erat, sampai aku mengibaskan tanganku dan terlepas dari
genggaman orang itu.
“Ardi...” Kataku saat menyadari
orang yang menyeretku dengan kasar itu adalah Ardi.
“Aku Ardi, orang yang kamu
telepon barusan itu aku, bukan Dafa.”
Baru beberapa detik yang lalu aku
sangat marah, dan dengan beberapa detik saja orang di hadapanku ini mampu
meluluhkan emosiku, hanya meluluhkan tidak menghilangkan.
“Aku tidak terima kamu jadikan
mesin uang.”
“Kamu salah paham Nay.”
“Aku tidak peduli, yang aku tau
aku salah nilai kamu.”
Aku pergi dengan langkah cepat
meninggalkannya di sudut sekolah. Aku mendengar langkah kakinya mengikutiku.
Dan tak lama kemudian dia berhasil menyamakan langkah denganku tepat di depan
pintu kelas kami.
“Aku bohong sama Dafa, aku bilang
aku gagal dapatkan nomor kamu. Dan nomor yang kamu hubungi tadi itu nomorku,
yang tadi malam itu nomorku. Aku mau menghubungi kamu semalam, tapi aku bingung harus ngomong
apa.”
Aku semakin terkejut mendengar
penjelasannya, juga Dafa yang dari tadi sudah ada di dalam kelas memperhatikan
aku dan Ardi. Wajah Dafa terlihat kesal pada sahabatnya. Aku tidak tahu pasti
apa yang sedang Dafa pikirkan tentang sahabatnya. Aku hanya berlalu dan duduk
di kursiku. Sementara Ardi mengejar Dafa yang dengan kesal meninggalkan kelas
bahkan lelaki itu sempat menabrak bahuku dengan kasar.
Aku hanya merasa sangat terkejut dengan
kejadian mendadak ini. Belum lama aku merasa seperti orang asing yang tidak ada
arti apa-apa bagi Ardi, tapi sekarang aku justru menjadi biang masalah retaknya
persahabatan diantara mereka.
**
Sejak kejadian hari itu, Ardi
seperti berusaha menghindar dariku, bahkan saat berpapasan pun tidak ada senyum
yang dia pamerkan. Aku terima, mungkin aku hanya merasa terlalu berharap
padanya. Dan juga, aku tidak ingin merusak persahabatan mereka. Dafa? Dia
sempat mengungkapkan perasaannya padaku, tetapi aku menolaknya dengan alasan
ada orang lain di hatiku, dan itu pun bukan Ardi. Ya, aku berbohong pada Dafa.
Lama-lama aku benar-benar
menyukai semua yang ada pada Ardi lebih-lebih dari sebelumnya. Bahkan saat aku
melihat dia berjalan menjauhiku, aku terus melihat punggungnya. Di sana
terlihat nyaman jika bisa kujadikan sebagai sandaran. Tidak bisa aku berpikir
tenang, semua sudah kacau teraduk. Masih suka atau sudah menjadi cinta yang dalam?
Saat dia kembali , berjalan
menghadapku dan berlalu. Dia kembali duduk di sudut kelas. hanya dengan dia
kembali, aku senang. Aku kenapa? Dia benar-benar seperti langit biru yang ingin
selalu kulihat. Perasaan dalam diam yang semakin gila ini terus menjadi
penghuni setia. Dan saat aku sadar telah jauh terjatuh untuknya, aku merasa
tidak bisa menggapainya. Dia terlalu luar biasa untuk wanita biasa sepertiku. Sekarang
yang aku bisa hanya terus memendam dalam diam. Aku pasrah meruntuki kebodohan
yang hanya bisa menikmati indahnya dalam kesendirian.
Aku mulai mengerti kali ini,
langit yang biru memang terlalu tinggi. Aku tidak akan bisa melompat meski
hanya untuk menghirup udaranya.
**
Tiga tahun kemudian. Di hari itu,
ujian nasional tiba. Jantungku tidak lebih berdebar cepat saat membayangkan
seberapa sulit soal-soal yang akan kuhadapi saat duduk di kursi panas ruang
ujian di samping musola sekolahku itu. Jantungku lebih berdebar karena
berpapasan dengannya, seseorang yang baru saja ingin kulupakan tadi malam. Dia
masih terlalu manis untuk begitu saja kuabaikan.
Selama ujian aku tidak ingin
terlalu belajar melupakan dia. Aku pasrah akan bagaimana perasaanku dan lebih
fokus pada soal-soal ujian. Tahu tidak? Dia menjadi salah satu motivatorku untuk
tidak menyerah belajar dan berlatih mengisi soal-soal selama persiapan ujian
nasional. Hah, aku sudah gila.
Saat ujian nasional hari terakhir
usai. Aku berkeliling bersama teman lelakiku, dia temanku yang paling dekat dan
sudah kuanggap seperti saudara. Dia mengunjungi ruang ujian tempat wanita yang
dia suka, maksudnya hanya untuk bisa melihat meski sebentar. Aku tidak bisa
menebak bagaimana kondisi jantung temanku itu, apakah sama sepertiku yang dag-dig-dug ini? Bukan karena aku
menyimpan rasa pada temanku, itu karena ruang ujian wanita yang temanku suka
itu sama dengan ruang ujian Ardi.
Temanku berlalu, aku masih di
belakangnya. Mengendap-endap, menatap kiri-kanan untuk memastikan tidak ada
orang yang akan melihat aksiku beberapa detik lagi. Brreeeeet, dengan cepat aku mengambil foto Ardi yang terpampang di
jendela kaca ruang ujian. Kusimpan dalam kantong baju seragam sekolahku.
Temanku berbalik menatapku, memastikan aku tidak ketinggalan langkah lebih jauh
darinya. Aku hanya cengengesan, andai
temanku tahu hal apa yang baru saja kulakukan, dia mungkin akan mengolok-olok
dengan candaannya. Ya, aku seorang pencuri. Aku pencuri foto hitam-putih si
pemilik mata teduh itu. Aku tidak bisa memiliki hatinya, tapi mungkin aku cukup
pantas hanya memiliki foto hitam-putih curian itu.
Menyerah sebelum memperjuangkan.
Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah kulakukan. Aku menyerah untuknya, berusaha
melupakan perasaan yang bahkan sulit untuk padam. Aku akan membuka hati untuk
orang lain yang mengharapkanku. Mulai hari ini aku akan melupakan langit biru
yang tinggi itu, aku harus mulai memperhatikan laut biru yang bisa kusentuh
tanpa harus melompat, meski aku akan tenggelam pada akhirnya.
**
Aku benci aku. Kenapa jantungku
masih saja seperti dulu? Padahal ini sudah tiga tahun sejak aku mulai
menyukainya. Bahkan semakin parah dan melukaiku sendiri. Dan untuk membalut
lukaku, aku mencari sandaran hati yang lain. Aku berusaha memberikan hatiku
untuk seseorang yang kini menjadi kekasihku. Tetapi malam ini, aku akan
mengecewakan lelaki yang sedang berusaha membalut lukaku jika ia mengetahui
dengan siapa aku sekarang di tempat ini. Ardi ada di hadapanku. Aku tidak
pernah menyangka akan datang hari seperti ini. Di tengah malam menghadap
lautan, juga angin yang cukup mengusik kehangatan suhu tubuhku. Hanya karena
dia aku harus tetap diam di tempat ini.
Aku masih ingat perjalanan ke
tempat ini. Untuk pertama kalinya aku kehilangan rasa maluku, memberanikan diri
mengalungkan kedua lengan ini pada pinggangnya dari belakang. Aku terlalu lelah
dengan perasaanku sendiri hingga aku ingin sekali bersandar pada punggung yang
sudah sejak lama kukagumi itu. Seperti perkiraanku, tempat yang nyaman untuk
bersandar.
Matanya semakin teduh malam ini,
terus menatapku tanpa bisa kuartikan. Jangan terus menatapku, aku bisa
menangis. Aku terlalu bodoh untuk bisa mengerti, aku juga terlalu bodoh tidak
bisa memiliki apa yang kuinginkan. Aku menginginkan lelaki di hadapanku ini.
Tapi tidak mungkin kulakukan. Lagipula aku tidak pernah mampu mengartikan
bahkan sampai sekarang, apa dia pernah memiliki perasaan yang sama sepertiku?
Apakah malam telah membiusku?
Atau justru lelaki di hadapanku ini yang telah membiusku untuk semakin
terhanyut dalam perasaanku? Aku hanya bisa balas menatap dalam kedua manik mata
indah itu. Aku berusaha menyelami maksudnya, aku berusaha meramal keinginannya.
Tetapi, tatapan matanya terlalu ambigu untuk kuterjemahkan. Di sana ada rasa
bersalah yang kubaca, tadi sudah kukatakan, aku tidak yakin!
Sampai itu terjadi, hal yang
membuat jantungku kembali bereaksi abnormal dan tidak bisa kukendalikan dengan
hanya menggunakan akal sehatku ini. Diam, hanya itu yang kulakukan saat dia
mulai mengungkapkan sesuatu tanpa kata.
Memelukku
untuk beberapa detik, menjatuhkan air matanya untukku...
Pulang dari tempat itu, tangisku
memecah. Segunung penyesalan karena tidak memanfaatkan banyak waktu dengannya.
Seharusnya aku bisa tertawa bersama dengan lelaki itu meski hanya sekedar teman,
bukan mengakhiri semuanya tanpa memulai seperti ini. Kisah cinta apa ini? Aneh
dan tidak bisa kumengerti. Tetapi memang benar sebutan langit biru itu
untuknya. Bukan langit biru namanya jika mudah dan dapat kugapai. Sampai
kisahku dengan langit biru itu berakhir, tidak sempat aku mengatakannya bahwa
aku sangat mencintainya selama ini. Aku memang manusia biasa yang tidak bisa
melompat atau terbang untuk menyentuh langit biru sejauh dan setinggi itu.
*****
THE END
nie dimodif kan noona?
BalasHapusdulu aldi baca ending y beda dh,,,,he
Iya Aldi, beda sama yg waktu itu.
HapusAda sedikit perubahan di sana sini.
Malu kalo yg dulu, Wkwkwkwk :D
Makasih udah sering mampir ke blog noona ya de ^^
mencuri foto hitam putih d kaca jendela.
BalasHapusaku udah ga asing sama ini... hehhe d ff kk yang dulu pernah ada adegan ini jg kan? :D
ceritanya oke kak.. cuma agak bingung pas bagian akhir. jd si naya pas mau tamat SMA itu udh punya cowok lain yang jd pembalut luka dia alias pelarian dia. trus yg adegan terakhir d malam hari d pantai itu, naya berdua sama ardi. tapi mrka ga ngomong apa2. cuma berbagi isyarat lewat tatapan. gitu ya kak?
ohya kak, td pas pembukaannya kk bilang konsul sama tokoh ardi d dunia nyata, gmn sih rasanya kak? hahaha aku kepo :p
ini kisahnya memang terinspirasi dr kisah nyata ya kak? :D
Nah ksh aslinya ada d cerita ini de. Klo di ff yg itu cm nyomot dr ksh kk. Hehe
HapusKk jg bingung. Hehe.. td kan udh k ceritain y di BBM. Dsni gausah dijelasin lg ok.
Rasanya. Hmmm... ya kyk nabur garam di luka yg blm kering gt lah. Hahaha. Udh move on kok , cm psti klo ingt ada ksl dan nyeselny jg. Taulh knp dr cerita ini jg. Intinya gt lah mnta ijin scr ga langsung, dan ga diprotes berarti boleh bhkan ngasih msukan brbagai typo yg berserakan. :D
Yap. Ini jelas pnglmn pribadi. Cuma yg adegan mta nope dmi uang itu cm fiktif de, bumbu2 aja. Juga pas ending tu ada yg beda jg dkit... tp scr gars bsr ini dr pnglaman pribadi...
Baru kali biar ga jd kontributor tp perasaan kyk jd pmenang trbaik.. hehehe..
Ahhh mksh nulisbukucom idh adain event ini :D
Kyaa~ kakak :" huwaaaa bingung ma komen apa... spechlesss haha x"D
BalasHapusHahahaha.... bingung 'kan :') apalagi yg nulis :')
Hapus